Minggu, 27 Juli 2014

PERTAMA KALI



PERTAMA KALI
Cause all of me, loves all of you
Love your curve and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me,i give my all to you
Your my end and my beginning
Even when i lost i’m winning
Cause i give you all of me, and you give me all of you
“Fe........” Seperti biasanya, kembali ia mendatangiku untuk menceritakan hal yang semestinya ia ceritakan sejak bercerita menjadi kewajibannya padaku.
“Ya, Me? Bagaimana?”
***
Sender : Mr. ?
Hai, Me. Bagaimana? Jadi, hari ini? Ku undur satu jam bisa?
Sent : Mr. ?
Tentu. That’s okay.
Sender : Mr. ?
Okay
Satu jam kemudian.
Sender : Mr. ?
On the way, Me.
Aku bersiap, memilih busana yang sesuai dengan cuaca hari ini. Ungu pilihanku jatuh pada warna ungu. Kerudung, kaos, jeans, dan tas ungu namun hitam dengan sepatu. Aku melangkah keluar rumah, menuju sebuah tempat yang sudah disepakati.
Terlalu lama jika ku kirim sebuah pesan singkat, kuberanikan diri meneleponnya.
Me : Hai. Dimana?
Mr.? : Di tempat janjian kita. Kau?
Me : Same. Posisi?
Mr.? : I don’t know. But, mungkin kita bisa bertemu di pusat.
Me : Okay.
Aku mencari pusat, berputar mencari sosok yang selama 3 tahun menghantui dengan bayangannya yang membuatku terus-menerus merindu dengan ribuan kata yang sudah kuciptakan. Satu titik. Aku menemukanmu sibuk dengan gadget terbaru-mu yang sudah tidak asing lagi untukku.
“Hai. Assalamualaikum.” Ku ulurkan tangan. Dan kau mulai menatapku lalu menjawab uluran tangan yang menggantung di udara itu.
“Hai. Waalaikumsalam. Baru saja aku duduk.” Katamu tanpa melihat ke arahku.
“Oh ya? Aku tadi berputar dan menemukanmu disini.”
Kau tahu? Sebenarnya, sudah lama aku menunggu waktu ini, aku menunggu hari ini. Setelah 3 tahun lamanya kusimpan baik-baik rasa ini tanpa ada yang tahu. Kau, terlalu istimewa. Bahkan sangat sangat sangat istimewa. Bagaimana dulu aku pertama kali merasakan rasa yang tak biasa ini sampai aku bisa duduk berdua denganmu. Dari aku merasa tak mungkin untuk dekat denganmu, sampai aku bisa sedekat ini selain dengan jarak satu jengkal saja.
Kau tahu? Aku tak selalu bermimpi hari ini benar-benar ada. Mengapa demikian? Karena aku tak pernah percaya pada sebuah rasa lama. Kau benar-benar datang tanpa izin yang pasti. Dari awal 3 tahun lalu sampai detik ini, gambaran percakapanmu atau apapun yang kau suarakan tak pernah bisa kulupakan. Dan kini, aku serta kau duduk berdua di sebuah taman yang memang kuinginkan. Meski aku tak benar-benar tahu sebenarnya rasa yang kau rasakan.
“Do you have someone?” tanyamu membuatku semakin tak menentu.
“Uh? Someone?” aku kaget.
“I mean, boyfriend.” Kau menjawab datar.
“No, i don’t have.”
“Aku pikir, setelah kuliah beberapa tahun kau menemukan seseorang yang menempati hatimu.” Kau menjawab. Dan hatiku rasanya ingin berteriak.
“Kau tahu? Aku benar-benar sendiri karena hatiku selalu terkunci untuk banyak orang siapapun itu. Sudah ada yang menempati. Kau, kau yang menempatinya.”
Namun, aku tak mungkin berani mengatakannya. Mana mungkin? Bisa habis dan mungkin kau akan merasa tak nyaman bersama denganku. Atau bahkan mungkin kau akan lari menjauh agar tak lagi dekat-dekat denganku. Maka dari itu, aku tak mungkin mengatakannya.
“Mau berkeliling? Cari minum?” Kau menawarkan.
“Okay.”
Pilihanmu jatuh pada minuman segar, jus alpukat. Minuman favoritku yang mungkin kau tak tahu hal ini. Mungkin, aku akan ingat padamu jika aku membeli minuman satu ini. Bahkan, aku bisa membelinya setiap hari hanya untuk mengingatmu. Tak apa.
“Kali ini, aku akan mentraktirmu.”
“Sure? Okay. Next time, giliranku ya?”
Saat itu kau pasti tak tahu apa yang kurasakan. Duduk berdua, minum berdua, jalan berdua, cerita berdua bersamamu adalah hal terindah. Rasanya aku tak ingin menghentikan waktu. Aku ingin waktu tetap skakmat di satu titik begini saja, tak usah lagi ada detik yang jika menjadi angka 60 akan jadi menit lalu digandakan dengan satu jam yang berlalu. Aku masih ingin duduk menikmati hari denganmu, namun tak mungkin.
“Maaf, Me. Aku harus segera pulang. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan.”
“Oke, engga papa.”
“Baik, ku antar kau sampai pintu keluar.”
Kunikmati detik terakhir kita, waktu langka yang tak mungkin kumiliki lagi. Waktu yang akan berakhir hanya dalam hitungan detik, bukan menit.
“Okay, sampai jumpa. Thankyou for today, be careful.” Kataku melambaikan tangan padamu.
“I will. You too.” Jawabmu tersenyum.
Kulihat kau jalan membelakangiku. Tanpa kau ketahui, tanpa kau sadari, aku masih mengamati kepergianmu sampai kau menjadi jauh sampai tak lagi terlihat oleh mataku. Kupastikan hatiku tak lagi menyimpan rindu dahsyat untukmu.
***
“Bagaimana aku tidak bahagia, Fe? Aku tak pernah percaya bisa dekat dengannya, berkomunikasi dengannya-pun aku tak percaya. Sampai saat ini, aku telah melalui beberapa jam-ku dengannya aku benar-benar tidak percaya.” Kata Me setelah ia menceritakan panjang lebar tentang waktu yang ia serahkan untuk seseorang yang ia cintai.
“Aku ikut merasakannya, Me.”
“Tapi, aku takut, Fe. Aku takut ini hanya sekedar rasaku saja, dan ternyata selama ini ia terpaksa melaluinya denganku. Aku tak siap hadapi kenyataan, Fe. Rasanya, ingin kukatakan saja apa yang kurasakan. Agar tak ada lagi beban, agar tak ada lagi sakit yang berkepanjangan.” Sahabatku mulai dengan isakannya.
“Tidak, Me. Kau pernah katakan, bukan? Dia adalah semangatmu? Jangan. Kau pasti akan mendapatkan yang terbaik untuk hatimu.”
Dan dia kembali diam. Tasnpa mempedulikan ucapan terakhrirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar