PERTAMA
KALI
Cause
all of me, loves all of you
Love
your curve and all your edges
All
your perfect imperfections
Give
your all to me,i give my all to you
Your
my end and my beginning
Even
when i lost i’m winning
Cause
i give you all of me, and you give me all of you
“Fe........” Seperti
biasanya, kembali ia mendatangiku untuk menceritakan hal yang semestinya ia
ceritakan sejak bercerita menjadi kewajibannya padaku.
“Ya, Me? Bagaimana?”
***
Sender : Mr. ?
Hai, Me. Bagaimana?
Jadi, hari ini? Ku undur satu jam bisa?
Sent : Mr. ?
Tentu. That’s okay.
Sender : Mr. ?
Okay
Satu jam kemudian.
Sender : Mr. ?
On the way, Me.
Aku bersiap, memilih
busana yang sesuai dengan cuaca hari ini. Ungu pilihanku jatuh pada warna ungu.
Kerudung, kaos, jeans, dan tas ungu namun hitam dengan sepatu. Aku melangkah
keluar rumah, menuju sebuah tempat yang sudah disepakati.
Terlalu lama jika ku
kirim sebuah pesan singkat, kuberanikan diri meneleponnya.
Me : Hai. Dimana?
Mr.? : Di tempat
janjian kita. Kau?
Me : Same. Posisi?
Mr.? : I don’t know.
But, mungkin kita bisa bertemu di pusat.
Me : Okay.
Aku mencari pusat,
berputar mencari sosok yang selama 3 tahun menghantui dengan bayangannya yang
membuatku terus-menerus merindu dengan ribuan kata yang sudah kuciptakan. Satu
titik. Aku menemukanmu sibuk dengan gadget terbaru-mu yang sudah tidak asing
lagi untukku.
“Hai. Assalamualaikum.”
Ku ulurkan tangan. Dan kau mulai menatapku lalu menjawab uluran tangan yang
menggantung di udara itu.
“Hai. Waalaikumsalam.
Baru saja aku duduk.” Katamu tanpa melihat ke arahku.
“Oh ya? Aku tadi
berputar dan menemukanmu disini.”
Kau tahu? Sebenarnya,
sudah lama aku menunggu waktu ini, aku menunggu hari ini. Setelah 3 tahun
lamanya kusimpan baik-baik rasa ini tanpa ada yang tahu. Kau, terlalu istimewa.
Bahkan sangat sangat sangat istimewa. Bagaimana dulu aku pertama kali merasakan
rasa yang tak biasa ini sampai aku bisa duduk berdua denganmu. Dari aku merasa
tak mungkin untuk dekat denganmu, sampai aku bisa sedekat ini selain dengan
jarak satu jengkal saja.
Kau tahu? Aku tak
selalu bermimpi hari ini benar-benar ada. Mengapa demikian? Karena aku tak
pernah percaya pada sebuah rasa lama. Kau benar-benar datang tanpa izin yang
pasti. Dari awal 3 tahun lalu sampai detik ini, gambaran percakapanmu atau
apapun yang kau suarakan tak pernah bisa kulupakan. Dan kini, aku serta kau
duduk berdua di sebuah taman yang memang kuinginkan. Meski aku tak benar-benar
tahu sebenarnya rasa yang kau rasakan.
“Do you have someone?”
tanyamu membuatku semakin tak menentu.
“Uh? Someone?” aku
kaget.
“I mean, boyfriend.”
Kau menjawab datar.
“No, i don’t have.”
“Aku pikir, setelah
kuliah beberapa tahun kau menemukan seseorang yang menempati hatimu.” Kau
menjawab. Dan hatiku rasanya ingin berteriak.
“Kau
tahu? Aku benar-benar sendiri karena hatiku selalu terkunci untuk banyak orang
siapapun itu. Sudah ada yang menempati. Kau, kau yang menempatinya.”
Namun, aku tak mungkin
berani mengatakannya. Mana mungkin? Bisa habis dan mungkin kau akan merasa tak
nyaman bersama denganku. Atau bahkan mungkin kau akan lari menjauh agar tak
lagi dekat-dekat denganku. Maka dari itu, aku tak mungkin mengatakannya.
“Mau berkeliling? Cari
minum?” Kau menawarkan.
“Okay.”
Pilihanmu jatuh pada
minuman segar, jus alpukat. Minuman favoritku yang mungkin kau tak tahu hal ini.
Mungkin, aku akan ingat padamu jika aku membeli minuman satu ini. Bahkan, aku
bisa membelinya setiap hari hanya untuk mengingatmu. Tak apa.
“Kali ini, aku akan
mentraktirmu.”
“Sure? Okay. Next time,
giliranku ya?”
Saat itu kau pasti tak
tahu apa yang kurasakan. Duduk berdua, minum berdua, jalan berdua, cerita
berdua bersamamu adalah hal terindah. Rasanya aku tak ingin menghentikan waktu.
Aku ingin waktu tetap skakmat di satu titik begini saja, tak usah lagi ada
detik yang jika menjadi angka 60 akan jadi menit lalu digandakan dengan satu
jam yang berlalu. Aku masih ingin duduk menikmati hari denganmu, namun tak
mungkin.
“Maaf, Me. Aku harus
segera pulang. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan.”
“Oke, engga papa.”
“Baik, ku antar kau
sampai pintu keluar.”
Kunikmati detik
terakhir kita, waktu langka yang tak mungkin kumiliki lagi. Waktu yang akan
berakhir hanya dalam hitungan detik, bukan menit.
“Okay, sampai jumpa.
Thankyou for today, be careful.” Kataku melambaikan tangan padamu.
“I will. You too.” Jawabmu
tersenyum.
Kulihat kau jalan
membelakangiku. Tanpa kau ketahui, tanpa kau sadari, aku masih mengamati
kepergianmu sampai kau menjadi jauh sampai tak lagi terlihat oleh mataku.
Kupastikan hatiku tak lagi menyimpan rindu dahsyat untukmu.
***
“Bagaimana aku tidak
bahagia, Fe? Aku tak pernah percaya bisa dekat dengannya, berkomunikasi
dengannya-pun aku tak percaya. Sampai saat ini, aku telah melalui beberapa
jam-ku dengannya aku benar-benar tidak percaya.” Kata Me setelah ia
menceritakan panjang lebar tentang waktu yang ia serahkan untuk seseorang yang
ia cintai.
“Aku ikut merasakannya,
Me.”
“Tapi, aku takut, Fe.
Aku takut ini hanya sekedar rasaku saja, dan ternyata selama ini ia terpaksa
melaluinya denganku. Aku tak siap hadapi kenyataan, Fe. Rasanya, ingin
kukatakan saja apa yang kurasakan. Agar tak ada lagi beban, agar tak ada lagi
sakit yang berkepanjangan.” Sahabatku mulai dengan isakannya.
“Tidak, Me. Kau pernah
katakan, bukan? Dia adalah semangatmu? Jangan. Kau pasti akan mendapatkan yang
terbaik untuk hatimu.”
Dan dia kembali diam.
Tasnpa mempedulikan ucapan terakhrirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar