Minggu, 27 Juli 2014

DUA TUJUH TUJUH



DUA TUJUH TUJUH
Selamat ulangtahun.
Bukan bertambah umur, melainkan berkurang umur. Lebih dewasa dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Melupakan masa lalu kelam untuk menjadi masa depan. Serentetan harapan bertebaran berdoa semoga dijabah. Semakin banyak orang yang meng-aamiini, semakin baik doa tersebut menjadi nyata bukan hanya ingin.
“Selamat Ulangtahun.” Banyak sekali ucapan mesra dengan harapan tanpa jeda yang mereka doakan untukku di usia baru dan pemikiran baru.
Usia, umur. Sama saja. Bukan masalah tua atau apapun, yang kutahu mengenai ulangtahun adalah melakukan sesuatu hal yang paling baik dan semakin baik. Akh! Bukankah itu sudah ku katakan tadi di awal bicaraku?
Entahlah.
Yang pasti, ku ucapkan Selamat Ulangtahun untuk diriku yang semakin tua dan semoga semakin dewasa ini.

CERITA HARI INI



TENTANG SAHABAT
Sahabat.
Cukup satu kata. Tak perlu ditambah atau dikurangi beberapa huruf. Cukup satu. Ya. Satu saja sudah sangat lengkap. Tak saling mengapit, tanpa jarak atau apapun yang memisahkan. Melengkapi dengan huruf-huruf cantik tanpa balutan di-imbuhi titik manis pada akhirnya.
“Pasti ceritamu lagi yang ada di majalah sekolah itu, Day?” Kata suatu teman.
“Iya. Itu pasti. Kau selalu rajin menulis cerita dan mengirimnya entah kemana-pun itu. Aku yakin kau akan sukses dengan tulisan-tulisan bernyawa-mu itu.” Teman satunya menimpali yang kupikir terlalu berlebihan.
“Aku tahu. Tak lain tak bukan, Iin sahabatmu yang menjadi peran utamanya, bukan?” Temanku yang pertama meyakinkan.
Aku angkat bicara. “Aamiin. Semoga saja. Mohon doakan, ya.”
“Coba, Day. Ceritakan bagaimana hubunganmu dengan sahabat terbaikmu itu?”
Aku mengatur nafas. Mencari sisi dimana aku harus memulai tema diskusi hari ini.
“Tentang sahabatku?” aku mencoba meyakinkannya sekali lagi.
“Ya, Day. Tolong ceritakan. Agar aku mengerti, agar aku tahu apa arti sahabat yang sebenarnya.”
“Aku tak pernah tahu apa arti sahabat yang sebenarnya. Tapi, aku tak pernah berjanji menjadi seorang sahabat, aku tak pernah berkata padanya bahwa aku sahabatnya atau dia adalah sahabatku. Semua berjalan seperti air, terus mengalir tanpa skakmat di satu titik.” Aku menjawab.
“Ah. Aku tak mengerti mengapa sesulit ini mengerti bahasamu itu.”
Aku tersenyum.
“Cece.... Ini untukmu.” Iin menyerahan sebuah bingkisan padaku.
“Apa ini, Mi?” tanyaku.
Aku membuka. Al-Qur’an lengkap dengan terjemahannya, baju yang ia bawa saat acara tour sekolahnya serta kalung biru indah yang ia buat sendiri. Indah. Aku menyayangi apapun yang ia beri. Sama seperti aku menyayanginya tanpa batas.
“Terimakasih, Mi.”
Kulihat dia tersenyum padaku. Mengambil tempat duduk disampingku.
Rasa ini akan bertahan sampai kapanpun, karena aku, kamu, kita tidak akan pernah menjadi dua dari satu yang dipisahkan.

PERTAMA KALI



PERTAMA KALI
Cause all of me, loves all of you
Love your curve and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me,i give my all to you
Your my end and my beginning
Even when i lost i’m winning
Cause i give you all of me, and you give me all of you
“Fe........” Seperti biasanya, kembali ia mendatangiku untuk menceritakan hal yang semestinya ia ceritakan sejak bercerita menjadi kewajibannya padaku.
“Ya, Me? Bagaimana?”
***
Sender : Mr. ?
Hai, Me. Bagaimana? Jadi, hari ini? Ku undur satu jam bisa?
Sent : Mr. ?
Tentu. That’s okay.
Sender : Mr. ?
Okay
Satu jam kemudian.
Sender : Mr. ?
On the way, Me.
Aku bersiap, memilih busana yang sesuai dengan cuaca hari ini. Ungu pilihanku jatuh pada warna ungu. Kerudung, kaos, jeans, dan tas ungu namun hitam dengan sepatu. Aku melangkah keluar rumah, menuju sebuah tempat yang sudah disepakati.
Terlalu lama jika ku kirim sebuah pesan singkat, kuberanikan diri meneleponnya.
Me : Hai. Dimana?
Mr.? : Di tempat janjian kita. Kau?
Me : Same. Posisi?
Mr.? : I don’t know. But, mungkin kita bisa bertemu di pusat.
Me : Okay.
Aku mencari pusat, berputar mencari sosok yang selama 3 tahun menghantui dengan bayangannya yang membuatku terus-menerus merindu dengan ribuan kata yang sudah kuciptakan. Satu titik. Aku menemukanmu sibuk dengan gadget terbaru-mu yang sudah tidak asing lagi untukku.
“Hai. Assalamualaikum.” Ku ulurkan tangan. Dan kau mulai menatapku lalu menjawab uluran tangan yang menggantung di udara itu.
“Hai. Waalaikumsalam. Baru saja aku duduk.” Katamu tanpa melihat ke arahku.
“Oh ya? Aku tadi berputar dan menemukanmu disini.”
Kau tahu? Sebenarnya, sudah lama aku menunggu waktu ini, aku menunggu hari ini. Setelah 3 tahun lamanya kusimpan baik-baik rasa ini tanpa ada yang tahu. Kau, terlalu istimewa. Bahkan sangat sangat sangat istimewa. Bagaimana dulu aku pertama kali merasakan rasa yang tak biasa ini sampai aku bisa duduk berdua denganmu. Dari aku merasa tak mungkin untuk dekat denganmu, sampai aku bisa sedekat ini selain dengan jarak satu jengkal saja.
Kau tahu? Aku tak selalu bermimpi hari ini benar-benar ada. Mengapa demikian? Karena aku tak pernah percaya pada sebuah rasa lama. Kau benar-benar datang tanpa izin yang pasti. Dari awal 3 tahun lalu sampai detik ini, gambaran percakapanmu atau apapun yang kau suarakan tak pernah bisa kulupakan. Dan kini, aku serta kau duduk berdua di sebuah taman yang memang kuinginkan. Meski aku tak benar-benar tahu sebenarnya rasa yang kau rasakan.
“Do you have someone?” tanyamu membuatku semakin tak menentu.
“Uh? Someone?” aku kaget.
“I mean, boyfriend.” Kau menjawab datar.
“No, i don’t have.”
“Aku pikir, setelah kuliah beberapa tahun kau menemukan seseorang yang menempati hatimu.” Kau menjawab. Dan hatiku rasanya ingin berteriak.
“Kau tahu? Aku benar-benar sendiri karena hatiku selalu terkunci untuk banyak orang siapapun itu. Sudah ada yang menempati. Kau, kau yang menempatinya.”
Namun, aku tak mungkin berani mengatakannya. Mana mungkin? Bisa habis dan mungkin kau akan merasa tak nyaman bersama denganku. Atau bahkan mungkin kau akan lari menjauh agar tak lagi dekat-dekat denganku. Maka dari itu, aku tak mungkin mengatakannya.
“Mau berkeliling? Cari minum?” Kau menawarkan.
“Okay.”
Pilihanmu jatuh pada minuman segar, jus alpukat. Minuman favoritku yang mungkin kau tak tahu hal ini. Mungkin, aku akan ingat padamu jika aku membeli minuman satu ini. Bahkan, aku bisa membelinya setiap hari hanya untuk mengingatmu. Tak apa.
“Kali ini, aku akan mentraktirmu.”
“Sure? Okay. Next time, giliranku ya?”
Saat itu kau pasti tak tahu apa yang kurasakan. Duduk berdua, minum berdua, jalan berdua, cerita berdua bersamamu adalah hal terindah. Rasanya aku tak ingin menghentikan waktu. Aku ingin waktu tetap skakmat di satu titik begini saja, tak usah lagi ada detik yang jika menjadi angka 60 akan jadi menit lalu digandakan dengan satu jam yang berlalu. Aku masih ingin duduk menikmati hari denganmu, namun tak mungkin.
“Maaf, Me. Aku harus segera pulang. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan.”
“Oke, engga papa.”
“Baik, ku antar kau sampai pintu keluar.”
Kunikmati detik terakhir kita, waktu langka yang tak mungkin kumiliki lagi. Waktu yang akan berakhir hanya dalam hitungan detik, bukan menit.
“Okay, sampai jumpa. Thankyou for today, be careful.” Kataku melambaikan tangan padamu.
“I will. You too.” Jawabmu tersenyum.
Kulihat kau jalan membelakangiku. Tanpa kau ketahui, tanpa kau sadari, aku masih mengamati kepergianmu sampai kau menjadi jauh sampai tak lagi terlihat oleh mataku. Kupastikan hatiku tak lagi menyimpan rindu dahsyat untukmu.
***
“Bagaimana aku tidak bahagia, Fe? Aku tak pernah percaya bisa dekat dengannya, berkomunikasi dengannya-pun aku tak percaya. Sampai saat ini, aku telah melalui beberapa jam-ku dengannya aku benar-benar tidak percaya.” Kata Me setelah ia menceritakan panjang lebar tentang waktu yang ia serahkan untuk seseorang yang ia cintai.
“Aku ikut merasakannya, Me.”
“Tapi, aku takut, Fe. Aku takut ini hanya sekedar rasaku saja, dan ternyata selama ini ia terpaksa melaluinya denganku. Aku tak siap hadapi kenyataan, Fe. Rasanya, ingin kukatakan saja apa yang kurasakan. Agar tak ada lagi beban, agar tak ada lagi sakit yang berkepanjangan.” Sahabatku mulai dengan isakannya.
“Tidak, Me. Kau pernah katakan, bukan? Dia adalah semangatmu? Jangan. Kau pasti akan mendapatkan yang terbaik untuk hatimu.”
Dan dia kembali diam. Tasnpa mempedulikan ucapan terakhrirku.

AKHIR PENANTIAN



AKHIR PENANTIAN
“Fe...........” Me kembali merajuk padaku yang sebenarnya sedang sangat sibuk mengerjakan skripsi dengan deadline bulan Agustus depan. Selalu saja begini.
“Iya, Me?” aku me-restart laptop hitam hadiah lomba matematika saat SMP dulu yang masih ada menemaniku hingga saat ini, saat aku duduk dibangku kuliah semester 8.
Me terdiam, dia terdiam dengan senyum mengembang yang ia ciptakan. Dia terdiam sambil memainkan jari tangannya yang sebenarnya tidak ada apa-apa. Matanya fokus eh entahlah fokus atau tidak pada jari tangan yang ia mainkan itu. Aku juga terdiam, menunggunya menceritakan suatu hal yang ia suka.
Sebenarnya, aku tahu bahkan sangat hapal apa yang akan dia ceritakan. Tapi anehnya, setiap dia datang, dia selalu memberi cerita berbeda dan menarik yang membuatku tak pernah bosan. Aku semakin senang mendengarkan ceritanya. Cerita yang ia ceritakan dengan sebaik-baiknya cerita.
“Aku benar-benar mengaguminya tanpa henti sejak 3 tahun lalu, Fe. Benar-benar tanpa sepengetahuan siapapun kecuali kau, Fe. Dari saat ia bukan siapa-siapa, sampai saat ia memiliki banyak penggemar yang luar biasa karena kesuksesannya. Aku..........masih tetap mengagumi bahkan menyayanginya tanpa ia tahu dan kupastikan lebih besar dari siapapun yang mengaguminya saat ini.” Me sangat semangat menceritakannya.
“Fe, dia benar-benar menepatinya. Mengajakku berkeliling, aku senang, Fe. Bayangkan. Dari dulu, aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Dapat berkomunikasi dengannya itu sudah sangat cukup, dia mau mendengar curhatan kuliahku lebih dari cukup, bahkan dia mau membantu mengerjakan latihan soal-soal yang kumiliki itu sangat sangat cukup. Aku tak pernah meminta lebih, hanya bercanda untuk mencairkan suasana dan memintanya menemaniku untuk sementara waktu saat aku berada disini. Aku sangat bahagia. Dan, dia akan ada untukku beberapa waktu yang ia miliki, Fe.” Matanya berbinar.
“Syukurlah, Me. Aku sangat senang mendengarnya. Aku hanya ingin kau berhati-hati untuk hati, agar kau tak rasakan sakit jika semua itu tak berpihak padamu. Karena, aku menyayangimu, me.” Kita berpelukan dalam waktu yang lama.
“Terimakasih, Fe. Aku mencintaimu lebih dari apapun yang kumiliki.”
Kita tak pernah berjanji menjadi sahabat namun yang kutahu kita selalu ada. Sahabatku, dengan cerita-cerita magisnya, dengan cerita anggun yang kudengarkan. Aku tak akan pernah sesetia ini mendengarkan jika tak ada kekuatan saat berdiri untuk menemanimu, Me, sahabatku.