"Il, sebentar......."
***
kata-kata yang tadi disampaikan Fachri membuatku gugup. sebenarnya tidak ada yang istimewa, tetapi aku benar-benar tak bisa merasakan apa-apa. aku tidak ingin menyakiti, karena aku akan takut disakiti. masa lalu yang kelam membuatku berhati-hati memilih teman yang sangat dekat, terutama lawan jenis. cerita lalu memberi trauma mendalam.
"Fandy suka tanya-tanya kamu belakangan ini, dan barusan dia titip salam. Aku tahu, dia suka kamu."
"Fandy? Fandy kelas XII A2? darimana dia kenal aku? aku 'kan enggak kenal dia?"
"Il, siapa yang tidak mengenalmu?"
"Tapi kan, anak-anak IPA unggulan itu mungkin tidak mengenalku. mereka terlalu tertutup." sekolahku memiliki 6 kelas IPA dan 6 kelas IPS. tetapi 2 dari 6 kelas IPA sangat tertutup, maklum, mereka anak-anak 'paling' terpilih.
"Yasudah, waalaikumsalam."
percakapan sederhana dengan sahabatku Fachri tadi masih terngiang-ngiang ditelingaku. Fandy memang pintar, dia sangat menguasai pelajaran Fisika yang saat ini menjadi momok bagi anak IPA. tetapi sayang, aku tidak sama sekali menaruh hati padanya.
***
"Kamu pinter Maths, dia Fisika, kurang apalagi, Il?" Fachri kembali membahas tentang apa yang kemarin dia katakan.
"Aku enggak pinter, Ri." Aku mengelak.
"Sudahlah, kalian cocok."
"Sebenarnya............" aku menggantungkan pembicaraanku.
"Apa? pasti kamu juga suka 'kan? Jangan begitu, ga boleh muna."
"Siapa yang muna?"
"Oh iya, aku sampai lupa. nanti istirahat pertama, dia ingin ketemu katanya. disamping kelas. temui sebentar, kalau memang tidak suka, anggap saja teman, atau sahabat, atau pengagum hehehe"
Fachri berlalu pergi tanpa membiarkan mengelak untuk tidak menemui teman SD-nya itu. jujur saja, aku tak suka dengan hal ini.
***
Terpaksa, aku menuruti Fachri. menemui Fandy, namun kuberi sedikit waktu untuk Fandy menjelaskan tujuannya menemuiku.
"Cepat ya, sebentar lagi kelasku mau ulangan fisika. aku engga pinter kayak A1 dan A2 yang tanpa belajarpun mengerti. aku belum menguasai materi kali ini."
"Oh, perlu bantuan? aku bisa jelasin kalo kamu mau." sombong sekali, kataku dalam hati.
"Engga perlu, aku bisa. tinggal banyak latihan sedikit lagi." aku berbohong, padahal, banyak yang belum kumengerti.
Fandy mengambil buku Fisika yang ada dalam genggamanku, dan membuka materi yang akan menjadi bahan ulangan siang ini. seperti telah menebak fikiranku, dia menjelaskan materi yang aku tidak mengerti.
"Terimakasih, tapi aku ga minta kamu jelasin semua."
"Engga papa."
"Oh, ada apa memintaku bertemu?"
"Akh, aku hanya ingin minta nomor teleponmu, boleh?" dan bel sekolahpun berbunyi, aku bersyukur karena tak akan memberikan nomor teleponku padanya.
"Maaf, sudah bel. lain kali saja ya."
***
"Ilviiiiiii.." teriak Ina
"Iya, Na?"
"Ada yang cari....."
"Siapa?"
"Fandy, bilang kalau belum mau terbuka jangan mampir ke kelas A lain."
"Mungkin dia cari Fachri, dia kan temennya."
mau tak mau aku menemui Fandy.
"Fachri ada?"
"Sudah kutebak kamu pasti akan mencari Fachri."
"Iya, ada?"
"Enggaaa."
***
"Fachri, aku mau ngomong."
"Ilvi aku juga mau ngomong."
"Suit dulu........" ajakku.
"Yes menang." Kata Fachri.
"Siapa dulu?"
"Aku lah, hm Fandy serius sama kamu."
"Ih kenapa masalah itu lagi? Tugas fisikaku belum kelar kamu bahas itu." ambekku.
"Fisika nanti aja lah Il. terus gimana?"
"gimana apanya?" aku penasaran.
"Fandy?"
"Aku ga suka. kamu lagi, untuk apa kasih nomor teleponku?"
"Memang kenapa?"
"Aku gasuka"
Fachri diam saja. dia mungkin tak berani lagi berbicara. harusnya dia mengerti, bahwa aku tidak suka sama sekali pada Fandy sekalipun dia pintar. aku tidak tertarik.
Fachri tak tahu, saat ini aku juga sedang menyimpan perasaan. pada seseorang, yang misterius. aku mengaguminya baru-baru ini. biarkan dulu, jangan sampai sahabat lelakiku ini tahu. aku ingin rahasiakan ini padanya.
***
"Be, aku mau cerita." ucapku pada Bevy
"Ya, Il. cerita saja."
"Aku sedang jatuh cinta, mungkin"
"Sama?" Bevy terbelalak tak percaya. karena aku tak pernah lagi dapat menyukai orang setelah kejadian menyakitkan saat itu.
"Sama dia"
Next Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar