Senin, 26 Mei 2014

mimpi yang terbeli



            Kulihat seorang anak laki-laki kecil, mungkin usianya sekitar 7 tahun. Pakaiannya lusuh, tubuhnya kurus kering, kotor, seperti tak terurus. Dia didepan toko mainan, melihat sesuatu mungkin yang ingin dia beli. Tak lama, anak laki-laki itu berlari pergi, aku berusaha mengikuti sampai dirumahnya.
            “Ibu, aku ingin mobil-mobilan yang ada ditoko mainan pertigaan jalan itu, Bu.”
            “Untuk apa? Mimpi kamu ya beli mainan mahal itu? Tidak. Ibu tidak punya uang.” Bentak seorang wanita setengah baya yang sama terlihat dekilnya dengan anak laki-laki kecil itu, dari situ aku tahu, bahwa mereka adalah sepasang ibu dan anak.
            Anak itu lalu berlari,aku mengikutinya lagi. Dia berhenti di jalan buntu yang sepi, dia duduk berjongkok sambil menutup matanya. Dia menangis. Aku ingin sekali mendekatinya, tetapi sebelum kakiku melangkah dia berbicara pada alam.
            “Kenapa aku ngga bisa seperti anak-anak lain? Punya mainan banyak, bisa punya apa saja yang mereka inginkan. Bisa punya baju bagus. Rumah bagus. Kenapa aku ngga bisa punya semua itu? Kenapa?” teriaknya dalam hening.
            Aku memutuskan untuk diam saja, mengikuti anak itu dan mencari tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Mungkin kalian kira, seperti tidak ada kerjaan lain saja yang dapat ku lakukan. Tapi, ini lah tugasku sebagai jurnalis. Anak lelaki kecil tadi meneruskan perjalanannya. Dia kembali mendatangi toko itu. Anehnya, dia masuk melalui pintu belakang. Entah apa yang akan dia lakukan. Aku terus mengamati anak itu.
            Ketika penjaga toko sedang sholat Dhuhur, anak kecil itu mengambil sebuah mobil-mobilan berwarna biru dengan antena dibelakangnya. Dan dia lari untuk menghindari penjaga toko. Astaghfirullah. Aku mengejar anak itu. Kusentuh pundaknya, mengganggu dia yang sedang asyik bermain mainan curiannya itu.
            “Nak.”
            “Si..si..siapa kamu?” dia gugup kaget.
            “Tenang, aku melihat apa yang kamu tadi lakukan. Kamu mau mainan ini?” tanyaku. Ia mengangguk.
            “Jangan mencuri caranya, Nak. Lain kali kamu harus menabung untuk dapat mainan ini, mencuri itu dosa. Sekarang, ayo ikut, kita bayar mainan yang kamu beli.”
            Anak lelaki itu kembali mengangguk. Kini giliran dia yang mengikuti. Dia juga tersenyum senang. Akh! Wajah polos. Tetapi sudah berani mencuri. Mimpi yang terbeli. Yang seharusnya tidak seperti ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar