Mungkin cerita saja tak cukup mengaku inginku untuk bersikap dengan layak kepada sebuah suara atau... yang aku tak mungkin menyebutnya indah secara sepihak. Namun, jika saja aku bisa mengucap satu kata. Kuwakili dia dengan kata "Indah".
Aku adalah orang yang merugi, menyesal pada keadaan, menyesal pada waktu namun tak menyesal pada hati. hanya hati yang dapat mentolerir perasaanku.
Mimpi... Kini aku sedang bermimpi. Boleh aku meminta? Tolong jangan bangunkan aku dari mimpiku.
***
"Ehm.. Day?" Seseorang berada dibelakangku secara tiba-tiba itu benar-benar mengagetkanku.
"Kau.... Ya Fahri?" Tidak, aku tidak kaget dan jangan sampai aku terlihat kaget.
"Ada waktu malam nanti?" Ini serius.
"Tidak." Aku singkat.
"Aku jemput pukul tujuh." Kau langsung menghilang.
Begini, aku memang menyukai sosok yang baru saja mengagetkanku lalu mengajakku pergi dan pergi lagi tanpa sebab. Uh, tidak menyebalkan. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, ah terlalu lama. 11 tahun bukan waktu yang sebentar untuk bisa dengan baik menyimpan draft rasa yang sama sekali tidak di edit macam-macam atau dikirim langsung dengan nomor yang sama. Tidak. Tidak semudah. 11 tahun adalah waktu terbaik untuk menyimpan drafts pesan meski sempat berganti judul atau....... tidak dengan mimpi. Mimpi 11 tahun sangat nyata. Bahkan tidak bisa kuhentikan alurnya dengan durasi waktu bukan 1:20:00 atau lebih.
Pukul 16.00 di jam tangan abu-abuku. Langkah pasti ini ku arahkan pada rumah yang sudah kutempati setelah sekian.....maaf aku salah. Rumah ini baru saja kubeli 2 tahun lalu. Lulus dengan Sarjana Gizi membuatku terlihat lebih sehat dan sukses, juga untuk membangun rumah ini. Terimakasih, Tuhan.
***
Aku mendengar klakson mobil grand livina yang kutahu telah kau beli beberapa tahun lalu karena kerjamu di bidang teknik yang sangat bagus. Aku mendengarnya sekalipun ruanganku berada tepat di lantai dua meski tidak langsung berhadapan dengan ruang depan yang menjorok keluar. Aku turun, tak sabar membuka pintu untukmu. Kali ini biasa saja. Kali kedua aku berdua denganmu menikmati malam, meski hanya 2 kali. Tapi ku yakin akan sangat berkesan.
"Hai, Ibu Fria Day Sarjana Gizi, selamat malam." Katamu tepat saat aku membuka pintu.
"Selamat malam Bapak Fahri Riyan Ahmad Sarjana Teknik Sipil." Aku membalas.
"Siap?"
"Sure."
Malam ini mungkin akan menjadi malam terindah. Meski aku yang lebih banyak berbicara dalam perjalanan dan kau hanya mendengarkan serta memberi tanggapan seadanya karena ku tahu kau sedang berkonsentrasi menyetir, tak apa. Aku menikmatinya.
Kau memarkirkan mobil silvermu di depan sebuah restoran yang pernah kau sebutkan dalam list tempat favorit yang kau kunjungi padaku. Tidak mewah namun elegan, tidak besar namun cukup menarik.
"Kau pesan apa? Tolong jangan mengikutiku." Katam sambil meledekku.
Kau tak pernah tahu apa arti mengikuti dalam kamusku. Kau.... tidak pernah tahu.
"Tidak akan." Aku menjulurkan lidahku untuk kembali meledekmu.
"Mbak, jus alpukat satu." Kata kita bersamaan.
"Dua mbak, dua." Lalu kau tertawa.
"Tidak makan?" Waiters menanyakannya padamu, tidak padaku. mungkin karena kau terlihat tampan malam itu.
"Day makan?" Kau justru menanyakan hal itu padaku.
"Tidak, snack saja. Otak-otak 1 porsi untuk berdua."
Kau mengangguk dan waiters itu pergi membawa pesanan kita. Kau diam beberapa waktu dengan tatapanmu yang tidak kosong, melainkan bicara. Ah, ini matamu yang berbicara. Mataku menangkapnya. dan jangan pikir aku tak tahu. Aku seorang ahli gizi yang juga wartawan dan penulis. Sangat mudah membaca mata yang tidak pernah bisa bohong.
"Jadi..." Katamu menggantung.
"Ya?" Jawabku segera.
"Ehm.. Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Baik. Aku suka dan kurasa aku tak salah memilih jurusan ini. Aku bisa hampir setiap hari tidak ada dikantor. Melainkan pergi ke beberapa restoran untuk mencoba satu-satu makanan mereka dan mengoreksi apapun yang kurang dari makanan tersebut. Kau?" Aku menerbangkan pertanyaan serupa padamu.
"Ya.... itu sangat menyenangkan. Aku juga. Aku tak mungkin tak cinta pada pekerjaanku. Sangat cinta. Ohya, sudah berapa tahun ya Day kita saling kenal?"
"Cukup lama. Kurasa sudah hampir 13 tahun." Ya 13 tahun, dan 11 tahun aku memang menyukaimu, tidak, sayang bahkan.
Waiters datang dengan pesanan kita, aku menyeruput jus alpukat favoritku yang ternyata adalah favoritmu juga.
"Day...?"
"Ya?"
"Sebenarnya, sejak awal kita mulai berhubungan, aku menyimpan suatu rasa untukmu. Tapi....." jantungku berdegup dengan perkataanmu yang menggantung.
"Tapi, sejak aku pindah, aku mencoba tetap fokus pada apa yang kukerjakan dan aku ingin melupakanmu. Tapi, Day. semakin aku mencoba melupakan, aku semakin ingat. Aku tak lagi bisa seperti dulu yang setiap saat memberimu kabar, menanyakan keadaanmu, karena aku tak ingin kau menganggapku seorang pemberi harapan palsu. Dan tidak ada maksud untukku menggantungkan hubungan kita meskipun aku tak tahu secara pasti apa yang kau rasakan." Kau menatapku dengan harapan. Harapan yang..... entah aku tak tahu.
"Fahri........?" Aku ingin bicara.
"Tapi, Day. Kali ini aku, kau telah dewasa. Usia kita sama-sama 25 tahun. Aku ingin melanjutkan inginku yang dulu. Aku ingin bersamamu dalam kurun waktu yang lama. Selamanya." Kau, romantis.
"Fahri.....?" Aku masih ingin bicara.
"Day.... Aku ingin kau menjadi pendampingku. Aku tak ingin ada kata atau ikatan pacaran dulu. Aku ingin segera menutup usia lajangku denganmu. Aku tak ingin terlalu lama menyimpan sesak rasa yang tak tentu saat tak tahu kabarmu tapi aku malu menanyakannya. Kau bersedia?" Kau mengeluarkan sekotak cincin berlian yang cantik.
"Tolong izinkan aku bicara Fahri.. Sebenarnya aku juga memiliki rasa itu sejak lama. 11 tahun lalu tepatnya. sampai detik ini, sampai saat ini tidak akan berubah, tidak berubah sedikitpun. Mengapa tak dari dulu kau katakan agar aku tak sakit setiap saat merindumu. Namun, kau semangatku. Kau harapanku. Tanpa kau, tanpa cinta ini, aku mungkin bukan seperti ini sekarang. Ini........ karenamu." Aku berbicara.
"Dari awal, aku tak pernah menyangka bisa dekat bahkan seperti saat ini denganmu. Yang kutahu, saat ini aku bahagia. Aku bersedia." Aku memantapkan hati.
***
Ibu memberiku sebuah kalung warisan keluarga yang sangat indah. Sejak lamaran Fahri di restoran favoritnya itu 3 bulan lalu, kami melangsungkan pernikahan. Pernikahan yang kami rancang sendiri dekorasinya.
"Sudah siap?" Tanya Ayah yang masuk ke ruang rias.
"Sudah." Aku merangkul tangan ayah yang menuntunku menuju tempat resepsi. Aku memasuki ruangan bersama ayah. Kulihat didepanku sudah ada Fahri dan kedua orangtuanya. Ayah tetap menuntunku dan akhirnya menyerahkan tangan kananku pada Fahri sebelum akhirnya mencium keningku.
Aku dan Fahri meminta restu kedua orangtua di acara resepsi ini. Sangat membahagiakan.
"Akhirnya, Nak. Seseorang yang kau cintai sejak lama menjadi suamimu." Ibuku mengatakan hal pribadi itu padamu. Lalu kau tertawa renyah.
Aku bahagia, dan kulihat kau lebih bahagia. terimakasih Tuhan. tak ada lagi kata sesal dalam kamusku karena sesalku telah jadi bahagia yang Kau ciptakan;')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar