Senin, 21 November 2016

Aku tak butuh sosok lain untuk melengkapiku!


Apakah kita punya banyak waktu untuk saling mengenal? Ternyata bertahun-tahun pun tak cukup membuatku mengenal kamu. Kukira aku tahu banyak hal. Ya benar. Aku punya banyak hal yang kutahu tentang kamu. Sifatnya umum. Dan aku gagal jadi detektif calon FBI.

Bukan lagi waktu untuk dekat dan saling tahu. rasanya aku lelah memulai lagi cerita baru yang tak banyak orang tahu. melewati tahap saling kenal lalu menjadi akrab dan mencipta cerita baru lagi. Rasanya aku tak punya waktu untuk itu. Terlebih untukmu yang katanya mencintaiku tapi tak tahu apa-apa tentangku.

Benar saja. Rupanya aku tak butuh sosok yang benar-benar baru meski kenal cukup lama. Bersama dengan dua lelaki ini saja sudah membuatku merasa aman, dihargai, dilindungi, dan dicintai. Aku hanya perlu mereka untuk tetap tinggal dan aku akan bahagia.

Ternyata aku tak benar butuh kamu untuk sungguhan datang seperti mimpiku kemarin-kemarin. Segala rasa yang kau berikan bahkan telah kudapatkan dari keduanya—dua lelaki yang kumaksud tadi. Pahitnya, kau hanya memberi satu rasa, tidak lebih dan kurang dari “bahagia”. Tapi maaf, rasa itu telah dipenuhi dua lelakiku.

Kau... akh! Aku baru sadar. Selama ini bukan cinta yang kukira bermukim didiri. Sekadar rasa suka atau kagum yang berlebihan tapi tak pernah jadi cinta. Kau bertanya apakah aku yakin mengatakannya. Aku sedikit ragu. Tapi kuharap, Ya!

Terimakasih kedatanganmu, Sayang.


Ini hari aku ingin terus tidur. Bermimpikan kamu atau memimpikan hal yang sebenarnya sudah terjadi. Aku tak mau buka mata. Aku suka berimajinasi tentangmu. Imajinasiku liar. Liar terhadap orang-orang yang liar. Kau liar dipikiranku. Memohon tak mau pergi bahkan tinggal.

Sayang, kejujuranmu malam itu membuat cemas. Aku senang tapi tak seharusnya. Kelakuanmu memancing inginku yang lebih tapi tak akan mungkin. bukankah dari dulu sudah kukatakan bahwa tak ada harapan untuk melakukan hal yang tak semestinya?
Aku tidak menyesal, sayang. Aku juga bahagia. Boleh kutahu sejak kapan? Dan aku akan jelaskan sejak kapan ada rasa yang bertahun-tahun terjaga ini dimulai. Akan kuceritakan secara detail jika kau mau.

Cinta, aku senang sekali kau sibuk, tak seperti kebanyakan orang yang hanya berleha-leha dirumah. Tak mau terlepas dari gadget ataupun bangun dari tempat tidur mereka. Kau istimewa karena fikiranku atau karena kau memang benar istimewa?

Sayang, kau tak sadar kan? Jemariku sudah terbiasa lagi untuk mencipta kata dengan tiupan roh. Coba lihat satu atau dua bulan lalu. Menggerakkan tangan saja tak mampu. Sahabat lelakiku juga tak dapat menggantimu untuk menuntun jemariku menulis kata. Tapi, bisakah kau bantu aku? Agar jangan tentangmu terus yang kutuliskan, tetapi tentang mereka. Pun dunia.

Sabtu, 05 November 2016

Aku Ingin Lepas atau Tidak?


Aku kalah pada hatiku sendiri, sudah lewat satu bulan aku berhasil lupa. Tidak ada ingatan bahkan bayangan tentang kamu. Juga tidak ada lagi rindu besar yang kusimpan. Aku, bebas..... tapi, kebebasanku hanya untuk sebulankah?

Kau datang (lagi) dan aku tak lagi merasa tenang. Dikira bahagia padahal tidak. Kehadiranmu mengundang was-was, Sayang! Dikira mencintaimu menyenangkan padahal tidak juga.

Aku sudah bebas......kemarin. tapi kini kau paksa lagi menempati ruang. Ruang yang bertahun-tahun menjadi tidak hanya sekadar rumah untukku. Ruang yang kata orang adalah tempat kembali. Aku tak mau pulang ke tempat ini.

Memang indah, tapi tidak dengan hati cemas. Kau sudah membuka salah satu pintu rahasiamu. Didalamnya sangat indah dan aku terpesona. Tapi tidak! Indah itu menyengsarakan hati. Menguras otak, mendetakkan jantung dengan lebih kencang, membuat sakit perut. Itukah keindahan?

Aku tak butuh bahagia darimu. Harusnya kau tak usah datang. Menjemputku pulang dan membuka pintu rahasia. Aku cukup lelah dengan permainan ini.









Sabtu, 20 Agustus 2016

Kopi Itu Adalah Kamu


Menegakmu sampai habis dengan granula istimewa berbentuk hati aku suka.
Warnamu menggiurkan birahiku yang lama tak terendus nyata.
Kau bagian dari kopi itu, kau bagian dari granula cokelat itu.
Kau bagian dari kepahitan dari seluruh kopi yang tercipta.
Dan kau masih selalu ada dalam bayanganku meminum kopi.

Seperti kopi dan lagu yang tak pernah habis kusempurnakan.
Aku menginginkanmu dengan terlalu sangat.
Membentukmu dalam balutan cangkir bening yang kupegang gagangnya.
Aku selalu punya cara membelahmu dengan seksama.
Karena aku tak pernah butuh alasan menginginkanmu
Bahkan aku tak pernah punya alasan untuk tak mencintaimu.
Kubiarkan kau menyelam bersama kopi wamena favoritku

Biarkan saja kutabuhi granula manis diatasnya.
Kuhidangkan secara istimewa melalui berita rahasia.
Tentangmu yang belum pernah habis untuk kuteguk sampai benar-benar habis.
***
Aku tak pernah bosan mendengar ceritamu, membaca pesanmu di handphoneku, menyimak kelu kesahmu di perantauan untuk melanjutkan kuliah, menulis prestasi-prestasi sebagai inspirasi dan yang lain sebagainya. Aku menikmatinya. Karena menurutku, dengan begitu aku mengetahui bagaimana keadaanmu. Lewat ceritamu aku memiliki cerita baru yang tak akan bisa mudah ditebak seperti kebanyakan sinetron dan film di televisi.
Bahagiaku ketika malam-malam kau mendadak mengabariku karena tugasmu yang setumpuk membuatmu begadang, berlembar-lembar halaman dengan buku tebal yang terpaksa kau baca. Pesonaku ketika kau mengganggu waktu belajarku usai aku bertanya beberapa soal matematika yang tak kumengerti padamu dengan melanjutkan obrolan seputar sekolah di telepon, padahal aku ingin segera mengakhiri perbincangan kita. Senangku adalah kamu, ketika kau menagih janji berjumpa via telepon untuk merayakan hari ulangtahunmu.
Kita dekat tapi tak benar-benar saling kenal. Kita jauh dan seakan benar-benar sangat jauh. Kita itu tak jauh beda dengan dua orang yang bersembunyi, tak pernah saling menemukan. Ataukah hanya aku yang bersembunyi untuk menatapmu dari jauh? Kalau benar begitu, aku adalah pesembunyi paling hebat didunia karena dapat menemuimu tanpa perlu menatap. Percayalah, aku tak sungguhan menyukai hal ini.
Bermimpi tentangmu? Tak usah kau tanyakan. Aku adalah sang pemimpi paling tangguh, bermimpi sangat indah tanpa perlu takut bahwa itu semua hanya mimpi. Kau juga tak usah ragu bahwa aku adalah pemimpi nomor satu. Apalagi jika mimpiku berisi seseorang yang ternyata adalah kamu. Pagi-pagi adalah hal yang menakutkan karena mimpi itu harus selesai. Terkadang aku harus membangun mimpi itu lagi malam harinya agar aku tak pernah kehabisan waktu untuk tak bermimpi.
Hari ini aku sedang tidak ingin bermimpi, sudah satu bulan kau tak pernah mengabari. Bukan berarti kau tak lagi hadir dalam sekelibat bayangan yang kureka, justru kau semakin rajin mendatangi disela-sela waktu sibuk tanpa akhirku. Satu bulan bukan waktu yang sebentar, tiga puluh hari itu menyiksaku dengan teramat sangat. Aku ingin menemuimu.
Segera!
Sepertinya kau tahu bahwa aku sedang rindu, notification recent updates menandakan bahwa kamu baru saja mengganti display picture aplikasi BBM-mu membuatku melonjak kegirangan. Hanya foto sebuah laptop dengan secangkir kopi hitam disebelahnya. Apakah aku masih harus malu-malu untuk menyapamu lebih dulu?
“Aku selalu butuh kopi ketika tugas-tugas ini datang. Kau tahu? Aku tak pernah suka rasanya. Pahit.” Begitu katamu. Kau tak pernah menyukai kopi, apapun yang pahit, kau membencinya.
“Tambahkan saja gula, atau aku perlu datang sebagai pengganti gula?” Candaku menghiburmu.
“Kau tahu bahwa aku tak suka gula. Saat ini aku sedang berada di cafe. Kopi yang selalu aku pesan adalah kopi dari Papua, kopi Wamena. Oh ya, sebenarnya aku butuh wifi untuk mengerjakan tugas-tugas ini. Dan... paket data yang kumiliki sudah memasuki masa tenggang.” Mungkin saja kau merasa panik karena tugas itu harus selesai malam ini juga.
Malam ini kau terus mengumpat pada secangkir kopi yang setiap malam menjadi teman sekaligus musuhmu. Alasan kedua setelah wifi adalah kau tak ingin terganggu dengan rasa kantuk yang seharusnya tidak datang ketika kau sedang asyik dengan tugas-tugasmu. Mau tak mau kau harus mulai berteman—sungguhan—dengan kopi.
“Kau tahu, Nay? Aku harus menyelesaikan 18 bab hanya dalam waktu seminggu. Hah. Pahit sekali kopinya. Dan 18 bab itu penuh dengan rumus-rumus antah-berantah. Aku kadang bingung harus memulainya dari mana? Untuk mengakhirinya saja aku tak rela. Ini kopi pahit sekali.” Katamu yang beberapa kali sembari menyeruput kopi.
Mataku sudah tak mampu lagi membuka, hanya telingaku yang masih mendengarmu. Aku tahu sekali ini sudah lewat tengah malam, kau tak mungkin merasakan kantuk karena bantuan kafein dari kopi yang kau minum. Sedang aku? Untuk menghargaimu aku hanya jawab sekenanya saja.
“Nikmatilah, Al.” Kataku berulangkali.
Kau terus menceritakan apapun mengenai kehidupanmu di tempat baru sembari mengetik sesuatu di laptopmu yang sangat jelas terdengar. Aku seperti mendapat dongeng gratis sebagai pengantar tidur. Aku tak pernah berani untuk pamit tidur lebih dulu, aku tak mau mengganggumu yang sedang asyik bercerita atau aku sangat tidak ingin terlihat lelah ketika denganmu. Terakhir yang kudengar sebelum aku benar-benar menutup mata, kau berkata:
“Terimakasih, Nay. Terimakasih sudah menemaniku. Tapi, aku harus minta maaf. Aku terlalu sering meluapkan rasa-rasa negatif ini padamu. Aku akan berusaha untuk tidak mudah mengeluh pada keadaan kedepannya. Sungguh, tak ada maksud. Thankyou, Nay!”
***
Tidurku nyenyak. Terimakasih juga karena telah datang dan menciptakan mimpi tanpa perlu bantuan otakku yang bekerja untuk merangkai kisah menjadi mimpi. Rupanya kau tahu bahwa aku sedang lelah merapal cerita tentang kau setelah berhari-hari tak pernah lagi berkabar. Kau tak berubah. Kau bisa tiba-tiba datang, lalu pergi dan kemudian kembali datang meski akhirnya pergi lagi. Kau tak pernah bisa untuk kutebak.
Masalahnya adalah ketika kau datang maka kau membuatku terbang tinggi, tapi saat kau pergi aku selalu terjatuh, lalu kau datang dengan mengangkatku terbang tinggi lagi dan menjatuhkanku lagi sangat dalam ketika kau pergi. Anehnya, aku tak pernah merasa jera ketika siklus ini terjadi berulang kali. Karena kau, aku tak butuh sayap untuk terbang tapi juga tak butuh gaya gravitasi untuk jatuh. Aku menikmati.
Pagi ini aku memutuskan pergi ke supermarket, mencari beberapa keperluan dapur yang sudah habis sejak seminggu lalu. Kakiku berhenti pada deretan lorong kopi-kopi. Kopi apapun ada disitu. Aku meraih beberapa, kopi lokal adalah incaranku. Kopi Luwak, kopi Java, kopi Kintamani, kopi Lanang, kopi Toraja dan.... kopi Wamena. Kopimu. Kopi hitam yang aromanya sangat menusuk, wangi. Aku pernah membaca buku mengenai filosofi kopi tapi tak pernah benar-benar memahaminya. Dahulu sekali sempat tertarik membuat usaha kedai kopi namun harus kukubur semuanya.
Mulai malam tadi, kopi adalah bentuk rupa lainmu yang dapat kutemui tanpa perlu bertatap muka. Selain mimpi tentunya. Hal ini bukan koleksi, justru bagaimana agar kau selalu hidup dan mimpiku tak pernah mencapai endingnya. Bahkan karenamu, aku lebih mengetahui banyak hal tentang kopi Indonesia yang beragam. Kau tahu? Takutku ketika mimpi itu harus selesai dengan akhir cerita yang tak kukehendaki. Aku yang memulainya, aku pula yang harus mengakhirinya dengan baik. Bukankah aku adalah pemimpi ulung?
“Nay!” Fra membentakku sembari membuang tumpukan kopi di meja makan yang baru saja akan ku rapikan didalam lemari.
“Satu tahun aku menjagamu agar tak menyentuh kopi, Dua tahun kau harus selalu minum obat setelah kau minum kopi. Tiga tahun lalu sampai detik ini pantanganmu masih sama, Nay. Kau tahu bukan sakitnya setelah kafein berbentuk kopi itu masuk ketubuhmu? Kau benar-benar tak menghargai usahaku.” Emosi Fra memuncak, ia buru-buru mengikat trash bag sampah berisi kopi yang tadi kubeli untuk dibuang.
“Fra. Tolong. Aku berjanji tak akan lebih dari dosis minimal.” Aku tak bisa memohon lebih pada Fra.
Fra bahkan benar-benar tak menghiraukanku. Tiga tahun lalu, dokter mendiagnosaku memiliki asam lambung serta sesak nafas. Pantangan terbesarku adalah kafein. Teh dengan jumlah kafein yang sangat sedikit saja tidak ada izin untuk masuk dalam tubuhku. Dokter menjelaskan, jika aku masih saja memaksa minum minuman yang mengandung kafein, akan ada penyakit baru yang tak bisa lagi ditolerir. Ia sama sekali tak menyebutkan apa itu penyakitnya.
Berulangkali aku mencuri waktu untuk melepas rinduku pada teh maupun kopi, alhasil, dadaku berdegup dengan sangat kencang yang kemudian sesak luar biasa. Rasanya sakit sekali, seperti aku sudah tak lagi memiliki kesempatan untuk menghirup udara. Berkali-kali pula aku harus rela di infus untuk menstabilkan organ tubuhku yang tak menerima apa yang kuminum. Karena alasan dan pesan dari dokter itulah Fra bersikukuh melarangku menyentuh kopi meski akhirnya aku suka mencuri waktu.
“Kau mau beralasan bahwa dia yang menyebabkanmu melanggar aturan dokter? Keterlaluan kau, Nay! Apa dia lebih penting dari kesehatanmu?” Fra masih emosi, aku hanya diam. Fra tahu betul semua mengenai dia dan kopi yang kuceritakan pagi tadi sebelum pergi ke supermarket. Semakin aku membela diri, Fra tak akan bisa mengontrol emosinya.
“Aku berjanji, Fra. Tak akan lagi.” Ucapku, setengah hati.
***
Kadang waktu memang tak bisa dihentikan, satu detik berlalu bahkan telah menjadi sejarah. Tentunya tidak akan bisa diulang. Tapi itu tak membuatku ingin berbelok arah putar balik menyelami sejarah selayaknya akan tinggal selamanya disana. Ada hal baru yang lebih menyenangkan dari pada menghabiskan waktu untuk waktu lain yang telah tiada, bukan?
Hari ini, kau berjanji akan datang menemuiku di Jakarta. Kau sudah sampai beberapa hari yang lalu tapi tak memberitahuku dimana kau menginap selama berhari-hari ini. Pesan singkatmu hanya mengatakan bahwa kau ingin bertemu denganku disebuah kedai kopi. Aku mengiyakan.
Kau masih selalu mengira aku mencintai kopi. Ya. Aku lebih mencintai kopi setelah kau memberitahuku bahwa kopi adalah temanmu mengerjakan tugas. Aku ingin menjadi kopi, yang bisa menemanimu menghilangkan kantukmu. Atau aku ingin rajin minum kopi, agar aku merasa bahwa aku sangat dekat denganmu.
Kau, istimewa!
Aku punya waktu tiga menit lagi untuk sampai ditempat janjian kita. Kau sangat tepat waktu. Aku sama sekali tak ingin menjadi perusak sang waktu. Aku harus cepat sedikit. Kau selalu tahu bahwa aku menyukai pusat. Itu sebabnya aku sangat mudah menemukanmu. Kau... berada di pusat.
“Namun satu yang perlu engkau tahu api cintaku padamu tak pernah padam.” Bait terakhir dari lagu Sandhy Sandoro menyadarkanku bahwa ternyata aku diam mematung selama empat menit dari awal lagu hingga lagu itu berakhir, terpaku padamu yang kukira pemalu tapi berani tampil didepan umum terlebih dengan peran ganda sebagai vokal dan gitaris. Kau tersenyum kearahku. Aku menyukainya.
“Aku tahu kau tak mungkin terlambat, Nay.” Kau mempersilakanku duduk setelah menggantungkan gitarmu diatas kursi dan turun dari panggung.
“Perfect, Al.” Aku belum bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
“Menurutku tak ada yang sempurna selain berada denganmu, Nay.” Aku ingin teriak. Lelaki berpostur tinggi agak kurus ini yang selama sekian tahun belakangan mencuri perhatianku, mengatakan hal yang...... aku bahkan kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya.
“Tidak... tidak, aku hanya bercanda. Kalau malam aku sering sekali merasa stres. Maka jangan dengarkan aku ketika malam hari. Apa yang kubicarakan terlalu berlebihan. Karena itu aku butuh kopi untuk menstabilkan.” Baiklah. Aku jatuh. Tapi tidak sakit.
Tanpa sengaja mata kita bertemu dalam tatap. Ini adalah kali pertama aku menemuimu dengan menatap secara langsung setelah beberapa waktu lamanya harus bermimpi ketika hadir sebuah rindu. Anehnya, aku tidak menyukai adegan ini. Kau memang selalu kucari, tapi tidak dengan cara ini. Aku tidak suka. Matamu membuat otakku berhenti berpikir. Aku benci.
Tanganmu melambai memanggil waitress, memesan dua kopi Wamena. Aku mendadak ngeri, bagaimana jika dadaku mulai sesak setelah meminumnya. Aku sengaja membawa ventolin—obat sesak nafas—untuk malam ini. Kejadian yang akan datang bahkan sudah kuprediksi dengan baik. Menunggu kopi, kita saling diam. Aku berpura-pura sibuk dengan handphone sedang kau sibuk mengamati pemain musik. Ternyata diam kita tak butuh waktu lama, pesanan dua Wamena datang.
“Kau mau pakai granula? Mau kutuangkan?” Tanyamu.
“Biar aku saja yang menuangkan granulanya.” Aku menarik granula cokelat dari tanganmu. Aku selalu suka menuang granula dengan bentuk love. Kata Fra, aku adalah ahlinya.
“Kalau granulanya berbentuk hati seperti ini, rasanya aku enggan meminumnya. Sayang. Hahaha.” Entah ini ledekan ataukah pujian. Yang jelas, aku suka mendengarmu tertawa.
Kau mulai meraih gagang cangkir Wamenamu, menelannya dengan perlahan. Sedang aku bahagia mengamatimu, aku mencintai setiap tegukan yang masuk kedalam tenggorokanmu. Rasanya seperti aku telah benar-benar masuk ke tubuhmu. Seakan kecintaanku pada kopi selama ini tak pernah sia-sia.
Ini pertemuan kali pertama kita setelah bertahun-tahun hanya—mungkin—saling menyimpan rindu. Awal berkenalan saja hanya papasan tanpa senyum sekaligus tanpa tatapan ketika masih menggunakan seragam sekolah putih biru. Meski begitu, pesan-pesan bernada gombalan mengalir setiap harinya di handphone kita. Aku rindu masa seperti ini.
Kau ingat saat kita berada di satu aula untuk latihan gladi resik graduation tetapi tak berani saling bicara, hanya mengirim pesan via sms? Kau ingat saat aku selalu memintamu tersenyum ketika kita berpapasan didepan perpustakaan namun tak pernah kau lakukan? Kau ingat saat kita berada pada ruangan yang sama beberapa kali bahkan setiap kali dalam suatu perlombaan? Atau kau ingat saat hari terakhir ujian sekolah mata pelajaran bahasa inggris kau mengkhawatirkan kesehatanku karena aku ditemukan pingsan? Aku ingat semua, Al. Rasanya aku ingin mengungkapkannya.
“Kau sudah tak menyukai kopi? Kau membiarkan kopimu dingin.” Kau memaksaku untuk menatapmu jauh lebih dalam dari biasanya.
“Tidak. Aku tetap menyukainya, lebih-lebih mencintainya.” Aku mengatakannya dengan penekanan dikata lebih-lebih, tentunya dengan mata yang berbinar. Cantik.
“Oh ya? Mengapa?” kulihat kau menampakkan raut wajah sangat penasaran.
“Karena kopi itu adalah... kamu.” Aku memberi jeda sedikit sebelum mengucapkan kata kamu. Sepertinya kau paham apa yang kumaksud. Kau mengerti dari kata-kataku. Aku bisa memahami apa yang kau pikirkan. Kau tahu alasanku mengatakannya melebihi kata dari yang baru saja ku ucapkan.
Aku lelah menatapmu bingung. Kuambil secangkir kopi yang sedaritadi kubiarkan hangatnya dibawa pergi angin, kuteguk dengan nafsu luar biasa hingga tetes terakhir. Nikmat. Mendadak, dadaku sesak. Kurogoh ventolin dalam tasku, kuhirup dalam-dalam dan membiarkanmu semakin kebingungan. Ternyata kopi Wamenamu tak mau lagi bersahabat denganku, ventolinku saja tak akan mempan menyembuhkan sesakku. Penglihatanku buram, lama-lama menjadi gelap. Aku pingsan. Aku pingsan dengan dada yang sesak usai minum kopi. Meski begitu, aku tak pernah menyesal telah menegaknya sampai habis. Karena aku mencintai kopi, seperti aku mencintaimu.
***
Kepada kopi malam hari...
Ada apa denganmu? Kau memusuhiku?
Kau tak lagi menjadi partikel dalam larutan layaknya biasa
Ada apa?

Kopi malam hari...
Kau puas melenyapkan imajinasiku?
Mengambil roh dari segala huruf yang kuciptakan
Kau mau apa?

Untuk kopi malam hari...
Aku tak pernah menyesal menegakmu sampai habis
Apalagi balokan es batu tanpa volume yang menggoda
Silahkan menjauh!
Kau bahkan tak perlu bercinta dengan sianida untuk membunuhku


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen #MyCupOfStory diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com

Selasa, 16 Agustus 2016

Untukmu, Indonesia!

Selamat pagi, Indonesia
Harapku semoga cintaku padamu tak akan pernah padam
Cinta yang telah kupupuk berhari-hari
Cinta yang kubangun bersama-sama dengan mimpiku

Hai, Indonesia.
Aku berharap kau selalu baik-baik saja
Aku ingin kau selalu bersih tanpa noda meski itu mustahil
Aku mau kau selalu tegak berdiri dengan merah putih kebanggaanku

Halo, Indonesia.
Aku semakin muak dengan orang-orang didalammu
Semakin tak tahu aturan saja
Aku benci, itu kejujuranku
Kebohongan saja yang diagungkan
Yang benar disalahkan
Korupsi tidak berpendidikan dipertahankan
Rakyat dibiarkan sengsara dengan bekerja keras tanpa diupah

Hahahaha, Indonesia.
Seringkali kudengar atlet atau pahlawan zaman dulu tak dapat tenangnya hari tua
Sebagian dari mereka harus bekerja keras menjadi penjual tissue ditengah kota
Sedangkan para koruptormu kau biarkan berleha-leha dengan mobil mewah
Dengan kacamata hitam yang selalu melekat untuk menutupi kebohongannya
Sadarlah, Indonesia.
Pemerintah, aparat dan rakyat sama-sama tidak becus
Duh, Sedih!!!
Ditilang, bayar. Kebohongan, dibela.
Apa sudah dibutakan dengan uang dan kekuasaan?
Bagaimana ini? Bagaimana negaraku mau maju? Hahhh?!!?
Petinggi saja tak bisa memberi contoh untuk generasi mudanya

Selamat pagi, Indonesia
Cepat membaik ya
Atau tunggu aku tujuh tahun lagi
Kan kuubah Indonesia seperti cita-citamu yang sebenarnya

Sabtu, 30 Juli 2016

Malam untuk satu janji suci

Aku tidak sedang lelah untuk merapal mu membentuk isyarat. Kehidupan dengan berbagai bentuk peran yang diabadikan tidak dengan bahasa. Dimana selalu ada detik-detik aku membutuhkan air untuk membiarkan mataku basah tapi tidak sembab. Bukankah aku tak pernah mengenal jarak untuk selalu mencintaimu dengan rindu?

Kau tahu hari itu? Hari yang kuanggap paling bahagia dari segala hari? Hari yang tak akan mungkin ada gantinya, termasuk kukatakan harimu dimana aku mendapat sesuatu peringatan. Ritualku malam hari dan kau masuk kedalamnya. Kau pergi sebelum aku berani bertanya, ada apa? Apakah malam sudah memberikanmu isyarat sesungguhnya?

Sayang... kau tak perlu malam untuk menyampaikan, tak perlu suara untuk menuntaskan. Aku percaya sepenuhnya. Tak usah terlalu banyak berbicara, aku mengerti. Datangi aku secepatnya. Bukankah janji suci itu yang kita tunggu?

Sabtu, 30 April 2016

for somebody that hated maself~

Udah lama nggak mampir di blog ini, sudah berdebu dan sepertinya sekarang waktunya bersih-bersih. Lama nggak nulis di blog bukan berarti udah nggak pernah nulis, ya~~~
Nulis udah kaya nafas buat aku, nulis udah kaya detak jantung yang mana kalo aku berhenti nulis ya aku bakalan mati. Ini ga main-main. Okey.
Mungkin beberapa dari bloggers udah pindah ke vlog yang lebih keren dan lebih seru. Wkwk. Pengen sih bikin vlog tapi kaya gamungkin, gabakal ada yang mau liat, yaga? Lagian emang nulis lebih menyenangkan.
Ehem..
Tahun ini aku hadir dengan umur baru juli nanti, yang menurut sebagian orang “katanya” umurnya orang dewasa. Dan.... sebenernya yang orang-orang pikir dewasa itu seperti apa sih? Buat aku dewasa menurut setiap orang punya nilai dan arti masing-masing. Jadi, kalo kata si A dewasa itu seperti ini atau seperti itu, tapi menurutku nggak kaya gitu ya nggak bisa disamain dong.
Ngomong-ngomong masalah dewasa, aku emang bukan orang yang bisa berontak kaya anak muda lainnya. Aku ngerasa aku punya batasan “bahkan” aku gabisa buat lakuin itu.
Buat kalian semua yang nggak kenal sama aku, stop ngomongin aku yang ga bener dan yang ga kalian tau. Gausah sok kenal sama aku. Atau gausah pura-pura baik depan aku padahal dibelakang aku nusuk. Sakit? Iya. Pasti.
Kadang aku suka mikir, kapan aku bisa bebas? Bukan bebas dalam arti bisa ngelakuin apa yang mau aku lakuin seenak aku, nggak. Bebas disini yang aku maksud adalah aku pengen banget bebas nggak ngerasain sakit, nggak diomongin yang nggak-nggak, nggak difitnah, dan lain-lain.
Orang-orang Cuma nilai aku by cover, apa mereka tau isinya? No. Enggak. Mereka ga tau. Setiap aku curhat atau cerita sama semua orang, terutama ayah sama ibu, apa jawaban mereka? Sabar. Kalian kira sabar itu enak? Iya enak. Enak buat kalian. Ga enak buat kita yang selalu nahan.
Selama ini aku udah cukup nahan semua. Sakit. Aku gamau nyalahin siapa-siapa, nggak. Tenang aja karena ga ada yang salah. Yang salah mungkin aku.
Aku sakit hati sama guru fisika sma aku, maaf ya bu. Kalo anda ngga tau tentang diri saya, nggak usah ngada-ngada dan ngomong sembarangan sama bude saya. Ibu nggak tahu kan saya ngebujuk pembina osis selama seminggu untuk mengundurkan diri dari osis karena apa? Karena saya nggak enak sama bude pakde saya dirumah kalo saya izin pulang kerumah agak telat karena rapat osis yang hampir tiap hari. Dengan seenaknya ibu bilang kalo saya dikeluarkan dari osis karena sibuk dan asyik pacaran. Hey.... ibu tahu saya gimana? Enggak kan bu? Saya dikira pembohong karena itu bu. Saya dikira pembohong.
Aku juga.. sakit hati sama seseorang yang mungkin gabisa aku sebutin disini, karena aku dianggap ngebohong dan apalah itu sama dia. Aku dibilang bawa masuk cowo kerumah lah, kekamar lah, aku aja bawa masuk cowo kerumahku sendiri ga berani gimana bawa masuk cowo kerumah orang? Saat itu memang ada teman lelaki kerumah tapi kan dia Cuma mau copy tugas aja. Dia temen kelompok, dia juga ga aku bawa masuk kan? Kalo aku suruh duduk diruang tamu wajar kan? Yang penting aku ga macem-macem, gimana mau macem-macem lagian kalo dirumah ada orang dan ga mungkin aku macem-macem sama temen sendiri.ohiya, orang ini juga bukan Cuma ngerendahin aku, tapi juga keluargaku. Sakit hati? Tentu. Orang dia ngejelek-jelekin keluargaku. Terus aku Cuma bisa iya iya aja, tapi dia bilangnya ke orang lain beda. Dia malah bilang aku yang jelek jelekin keluargaku sendiri. mana mungkin hey? Setiap apapun yang aku lakukan salah di mata dia.
Aku bener-bener kuliah dibilang main karena berangkat pagi pulang sore (jam 7an paling malem). Padahal aku bener-bener kuliah. Dan orang lain yang nyetrika dirumah malah ngomoporin dengan bilang kalo anak dia Cuma kuliah dari jam 10 pagi sampe sore jam 4. Hello.... anak anda kan swasta, saya negeri dibawah kemenperin yang emang jadwalnya padet dengan absensi wajib 100%. Saya juga masih semester dua yang lagi sibuk-sibuknya karna awal masuk kuliah. Gausah ngomong kalo ngga tau tentang saya.
Apa aku salah kalo aku ngerasa gapunya masa remaja? Kadang aku juga pengen main sama temen-temen, kadang aku juga pengen aktif di beberapa organisasi.
Kesalahan ya tentang pacaran? Aku emang pas sma pacaran, aku emang salah karena seharusnya aku nggak kaya gitu. Tau kenapa? Karena aku ga punya temen. Aku bener bener ga punya temen. Di sekolah saat sma dulu, aku dihindarin karna gabisa ngumpul sama temen temen, aku ga gaul, aku ga dianggep. Saat itu, Cuma cowo itu yang ngerti aku dan anggep aku ada. Dia yang selalu nyuport aku dan bilang kalo aku sendiri. dia yang bisa dengerin cerita cerita aku yang gabisa aku ceritain ke ayah sama ibu karna pasti akan bebanin mereka, atau yang gabisa aku ceritain ke temen temen aku karna mereka pasti Cuma bilang sabar dan aku muak sama kata-kata itu. Aku muak.
Dia juga kasian liat aku pagi-pagi dan sore-sore berangkat dan pulang sekolah jalan kaki, memang ga jauh sih jarak rumah ke sekolah, tapi dengan beban di tas yang lumayan berat, aku mau dianter sama dia. Karena aku emang lumayan capek kalo pulang sekolah. Mending sampe rumah kalo bisa langsung tiduran.
Sekarang, saat aku bener bener kuliah tapi ternyata dikira main. Aku sakit hati banget. Ini bukan jurusan yang aku mau tapi aku harus berusaha buat sabar dan jalanin semuanya sambil nunjukin yang terbaik buat mereka. Aku terima kuliah disini karena disini “negeri” dan biayanya murah. Aku harus ikhlas ngubur pengenku di pertanian dan hadirkan mimpi itu kalo S2 nanti. Jadi buat kalian yang udah ada dijurusan yang kalian mau, jangan sia siain itu. Belajar yang bener biar cita cita kalian jadi nyata. Buat temen temen yang ada dijurusan pertanian, semangat ya. Majuin pertanian indonesia.
Ngomong ngomong masalah pertanian, ill tell you why im like agriculture. Awalnya tuh aku kelas 11, aku pengen banget ambil gizi, tapi katanya gizi itu kurang diambil didunia kerja. Okey. Ibuku minta buat aku di kesehatan, beberapa orang juga gitu. Seenggaknya jadi bidan. Tapi aku ga suka dunia kesehatan, aku ga suka jadi bidan. Di gizi bukannya juga kesehatan? Tapi ternyata gadapet izin. Aku udah capek. Aku juga capek dan aku pengen diluar kota, saat itu aku cari cari universitas dan pilihanku jatuh di unsoed. Aku cari cari lagi di internet tentang jurusan yang kurang peminat tujuannya biar aku bisa masuk ke univ itu dengan mudah meski dijurusan yang kurang peminat (alasannya biar aku bisa diluar kota karna aku gamau dijakarta saat itu). Dapetlah pertanian. Setelah pegang nama pertanian aku cari cari info tentang pertanian dan akhirnya aku jatuh cinta sama pertanian sama sekarang. Pertanian itu seperti jantungnya indonesia.
Kadang.... aku ngerasa capek jalanin semua ini.
Tapi adek-adekku, dewik, putri, agung, dan bagus, mereka jadi semangat aku buat tetep berdiri. Mereka yang jadi motivasi aku. Mereka butuh aku.
Sekali lagi. Buat kalian yang gatau atau ga kenal sama aku, stop ngomongin aku yang ga sesuai dengan kenyataan. Thanks.