Rindu Termanis untuk Ayah Tercinta.
Boleh aku bercerita?Tentang pahlawan
terbaik sepanjang masa.Tentang pahlawan terbaik yang tak penah menampakkan
kesedihannya.Tentang pahlawan terbaik yang meluangkan sedikit waktunya dalam
sesibuk apapun keadaannya.Tentang pahlawan terbaik yang menyimpan cinta
terpendamnya didalam hatinya.Tentang pahlawan terbaik yang kupanggil dia dengan
sebutan paling indah, “Ayah”.
Bagaimana bisa aku melupakan semua
cinta ayah yang selalu ia torehkan saat bersamaku? Aku, yang memilih untuk
bertransmigrasi ke Jakarta dengan tujuan mencari ilmu dan mencari pengalaman
agar mendapat hidup yang lebih baik, tinggal dengan saudara kandung ayahku, pakpuh. Aku, yang tiba-tiba sering
memendam rasa rindu didalam hati untuk keluargaku jauh dikampung Madura sana.
Aku, yang sangat merindukan dia. Dia ayahku yang paling hebat.
Sembilan tahun lalu…
“Kalau mau nulis puisi itu harus
dengan hati, kalau hati kamu tenang, buat menulis juga akan tenang, tulisanmu
bagus, Nak.Sama saja dengan menulis cerita. Engga boleh menulis dengan perasaan
emosi, kalau kamu menulis dengan rasa emosi, sebal, tulisanmu tidak akan
bernyawa. Tidak akan hidup.” Tutur ayah.
“Maksudnya Yah? Memangnya tulisan
bisa hidup?” tanyaku polos. Kata-kata yang tak kumengerti di usia 7 tahun.
“Iya. Tulisan itu akan bernyawa
kalau kamu meniupkan roh, karena kamu yang menulisnya. Tulisan yang bernyawa
itu terlihat seperti sesungguhnya. Kamu belajar aja menulis terus, nanti kamu
juga ngerti sendiri, Nak.” Ayah mengacak rambutku. Kebiasaan ayah yang sangat
kusukai.
Ayah juga mengajarkanku membaca
puisi yang benar.
“Membaca puisi itu sama halnya
dengan menulis, Sayang.Kamu harus tenang, harus siap mental, harus bisa
menguasai audiens, dan harus bisa menguasai puisi yang kamu bawakan.”
“Iya Ayah.Tyas mengerti.”
“Sebelum membaca puisi, tatap semua
audiens, agar audiens merasa dihargai dan mereka juga menghargai kamu.”
Selalu kuterapkan ilmu yang ayah
berikan itu. Ayah benar, beberapa kali aku mendapat penghargaan dalam bidang
ini. Ada bayangan ayah setiap kali aku memulai untuk membaca dan menulis, tak
lain dan tak bukan karena ayah-lah yang mengajariku cara-cara menulis dan
membaca puisi. Ayah yang membuat bakatku mampu kutampilkan tanpa rasa canggung
didepan umum.Membuat aku menjadi pemberani dalam menunjukkan
kreatifitasku.Ayah.

Delapan tahun lalu…
“Naik-naik ke puncak
gunung tinggi-tinggi sekali
Naik-naik
ke puncak gunung tinggi tinggi sekali
Kiri
kanan ku lihat saja banyak pohon cemara”
Lagu
yang hampir setiap pagi ayah nyanyikan bersamaku ketika berkeliling komplek
perumahan.Ya. Ayah selalu menyempatkan waktunya ditengah kesibukannya untuk
menemaniku meski hanya sekedar berjalan-jalan. Ayah menggandeng tanganku. Ayah
juga mengajakku untuk menghitung setiap langkah agar aku lancar menghitung.
Satu alasan yang membuatku memiliki
hobi menyanyi saat ini.Ayah.lagi-lagi ayah yang mengajariku. Banyak sekali yang
ayah ajarkan, sehingga aku memiliki banyak prestasi disetiap bidangnya.
Saat aku masuk Sekolah Dasar, setiap
hari selepas pulang kerja, ayah selalu menanyakan padaku.
“Bagaimana disekolah, sayang?”
“Baik, Yah. Enggak ada kesulitan.”
Begitu jawabku.
Ayah juga sering mengontrol
buku-buku pelajaranku, dan mengontrol nilai-nilaiku. Kalau ayah tahu aku
mendapat nilai yang kurang baik, maka ayah akan memintaku untuk belajar dikamar
dan akan memberikan soal-soal latihan setelah aku selesai belajar. Itulah
ayah.yang selalu berusaha membuatku menjadi yang terbaik.
Setahun lalu…
“Tentukan
pilihanmu, Nak.Kamu mau sekolah dimana nanti?”Ayah, menanyakan bagaimana
keputusanku saat sedang duduk berdua diruang tamu.
“Tyas masih bingung, Yah. Belum tahu
pilihannya.” Aku menjawab dengan nada tak ada kepastian.
“Ya, kelulusan SMP kan sudah
sebentar lagi.Kamu harus cepet-cepet buat keputusan, biar enggak keburu
nantinya.”
“Iya Ayah.Nanti juga Tyas sholat
istikharah biar dapet mana yang terbaik.”
“Begini, kalau nanti pilihanmu di
Jawa, belajarmu harus lebih rajin.20 kali lipat dari sekarang, karena Jawa dan
Madura itu berbeda.Lingkungannya pun berbeda. Kalau nanti pilihanmu di Jakarta,
belajarmu harus 30 kali lipat dari biasanya, karena Jakarta, Jawa
dan Madura itu sangat berbeda. Banyak saingan dan kamu harus tetap bisa
menunjukkan yang terbaik.”Nasihat Ayah.
Ayah.Seseorang yang selalu mendukung
pilihan-pilihanku.Ayah.Seseorang yang selalu memberi kritik terbaik dan mudah
kupahami untuk dapat dengan cepat aku mengintropeksi diri. Sangat berat memang
melepaskan kebiasaanku di Madura untuk memilih pergi ke kota, meski alasannya adalah
melanjutkan sekolah. Tak banyak yang pergi jauh dari orangtuanya untuk mencari
ilmu, apalagi di usia yang baru 15 tahun ini. Biasanya, banyak kakak kelas yang
kukenal mulai meninggalkan rumah untuk mencari ilmu saat mereka sudah kuliah,
sedangkan aku, saat masuk SMA.
Tak lama setelah perbincangan dengan
ayah itu, aku mendapat petunjuk dari Allah karena shalat istikharah yang telah
kulakukan 2x. aku bermimpi bermain bersama kakak sepupuku di Jakarta, apakah
itu artinya Allah menuntunku untuk ke Jakarta. Agar tak salah mengartikannya,
aku menanyakannya pada guru agama-ku, Pak Jami’an.
“Assalamualaikum Bapak, saya mau
bertanya.”
“Waalaikumsalam. Iya Tyas, mau Tanya
apa?”
“Kemarin, saya sudah melakukan
shalat istikharah dua kali, Pak. Seperti yang bapak ajarkan. Semalam, saya
bermimpi bermain bersama kakak sepupu saya di Jakarta, pak. Apakah maksud dari
mimpi itu ya, pak?” tanyaku.
“Ya menurut bapak, jawabannya di
Jakarta.Kalau kamu masih ragu, kamu bisa shalat lagi untuk memantapkan pilihan
kamu itu. Jangan sampai kamu ragu, karena ini untuk masa depan kamu.”
“Baik pak.Terimakasih.”
Jakarta. Apakah ini jawabannya?Aku
memantapkan hati.Ini bukan hanya pilihanku, tetapi ini juga pilihan Allah.Pasti
Allah menyiapkan sesuatu yang baik untukku nanti disana.Sampainya dirumah, aku
menceritakan hal ini pada Ayah.
“Wah, kalau kamu sudah yakin. Kalau
kamu sudah pas dengan pilihan kamu, sekarang juga ayah akan hubungi Pakpuh ya. Biar nanti Pakpuh cepat-cepat ngurus, biar nanti
ngga keburu. Karena semuanya akan berantakan kalau keburu. Kan urusannya pakpuh bukan cuman kamu aja, tetapi ada
urusan pekerjaan.”
Aku mengangguk cepat.
“Iya Ayah.”
Sejak aku mengatakan pilihanku, aku
lebih sering melamun. Entah apa yang kulamunkan. Padahal aku sangat senang
dengan apa yang kupilih. Mungkin aku hanya belum terbiasa dengan apa yang akan
aku hadapi nanti. Tanpa sosok keluarga yang menemaniku, meski mereka selalu ada
dalam hatiku.
Hari itu tiba.Dimana aku harus pergi
ke Jakarta.Ayah, Ibu dan kedua adik laki-lakiku mengantarkanku.Tinggal dua adik
perempuanku yang dirumah.
“Mbak berangkat ya, Sayang?
Assalamualaikum.” Aku berpamitan pada keduanya, mencium kening mereka.Kulihat
airmata dikedua pipinya.Allah.Dosa ya aku membuat adik-adik tercintaku menangis
sesenggukan seperti itu? Akankah aku melihat tangis lagi dipipi adik
laki-lakiku serta Ayah dan Ibu? Jangan.Ini bukan perpisahan.
Ayah dan Ibu mengantarku ke Jakarta
hanya beberapa hari. 4 hari tepatnya.Melepasnya saja aku tak kuasa menahan
tangis.Aku yang terbiasa dengan mereka tiba-tiba harus membiasakan diri dengan
hal baru, tanpa ayah dan ibu.
Aku sering mengingat moment-moment
kecil bersama keluargaku.Terutama ayah.Aku ingat dulu saat aku masih di
Madura.Banyak moment terindah yang kuhabiskan berdua dengan ayah.Aku sangat
dekat dengan ayah, maklum lah, ibu lebih dekat dengan adik-adikku.Karena
adik-adikku juga masih kecil-kecil.
Aku sangat ingat waktu aku duduk
dibangku sekolah dasar kelas satu. Ayah memberiku uang saku yang lebih sedikit
dari teman-teman. Ketika aku memprotes dengan membandingkannya dengan
temna-teman yang lain, ayah menjawabnya santai.
“Jangan banyak jajan.Uangnya kan
ditabung, biar nanti lama-lama menjadi bukit.”
Aku juga ingat, saat aku kelas 8
SMP. Teman-temanku mulai menggunakan sepeda motor matic dan helm yang bagus,
sedangkan aku menggunakan sepeda motor kantor milik Negara yang dipinjamkan
kepada ayah dan helm seadanya. Sering mendapat ledekan dari teman-teman, tetapi
aku tak patah hati.
“Masih jaman Yas naik sepeda motor
kantor? Ngga malu?” dan aku hanya bisa diam dan tersenyum.
“Ayah, tadi temen-temen ngeledek
gara-gara Tyas naik sepeda motor punya ayah.mereka ngeledek. Mentang-mentang
mereka punya sepeda motor bagus, punya helm bagus. Tapi Tyas engga punya.” Aku
mulai ngambek.
“Tyas, kamu sekarang masih sekolah.
Buat apa bergaya tapi pakai uang orangtua? Apa itu tidak lebih malu, Nak? Lebih
baik bergaya pakai uang sendiri nanti kalau sudah kerja.Pasti lebih
membanggakan. Nggak pantes dong kalau sekarang bergaya pakai kepunyaan orangtua
terus dibanggakan.” Aku mulai mengerti maksud ayah.aku juga tidak pernah lagi
memprotes ayah. karena ayah mengajarkanku arti kesederhanaan.
Ayah,
yang pertama kali mengajariku membaca puisi sehingga aku meraih banyak prestasi
dibidang ini.Ayah, yang mengajariku menjadi pemberani sehingga aku berani
tampil didepan umum menunjukkan bakat-bakatku.Ayah, yang mengajariku menulis
sehingga aku bisa menuliskan banyak cerita tentang kehebatannya.Ayah, yang
mengajariku bernyanyi sehingga aku bisa mencairkan suasana hatiku lewat
lagu.Ayah, yang mengajarkan banyak ilmu-nya untukku, yang tak pernah bisa aku
lupakan.
“Tyas sayang ayah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar