Sabtu, 22 Februari 2014

Rindu Termanis untuk Ayah Tercinta


Rindu Termanis untuk Ayah Tercinta.
            Boleh aku bercerita?Tentang pahlawan terbaik sepanjang masa.Tentang pahlawan terbaik yang tak penah menampakkan kesedihannya.Tentang pahlawan terbaik yang meluangkan sedikit waktunya dalam sesibuk apapun keadaannya.Tentang pahlawan terbaik yang menyimpan cinta terpendamnya didalam hatinya.Tentang pahlawan terbaik yang kupanggil dia dengan sebutan paling indah, “Ayah”.
            Bagaimana bisa aku melupakan semua cinta ayah yang selalu ia torehkan saat bersamaku? Aku, yang memilih untuk bertransmigrasi ke Jakarta dengan tujuan mencari ilmu dan mencari pengalaman agar mendapat hidup yang lebih baik, tinggal dengan saudara kandung ayahku, pakpuh. Aku, yang tiba-tiba sering memendam rasa rindu didalam hati untuk keluargaku jauh dikampung Madura sana. Aku, yang sangat merindukan dia. Dia ayahku yang paling hebat.
            Sembilan tahun lalu…
            “Kalau mau nulis puisi itu harus dengan hati, kalau hati kamu tenang, buat menulis juga akan tenang, tulisanmu bagus, Nak.Sama saja dengan menulis cerita. Engga boleh menulis dengan perasaan emosi, kalau kamu menulis dengan rasa emosi, sebal, tulisanmu tidak akan bernyawa. Tidak akan hidup.” Tutur ayah.
            “Maksudnya Yah? Memangnya tulisan bisa hidup?” tanyaku polos. Kata-kata yang tak kumengerti di usia 7 tahun.
            “Iya. Tulisan itu akan bernyawa kalau kamu meniupkan roh, karena kamu yang menulisnya. Tulisan yang bernyawa itu terlihat seperti sesungguhnya. Kamu belajar aja menulis terus, nanti kamu juga ngerti sendiri, Nak.” Ayah mengacak rambutku. Kebiasaan ayah yang sangat kusukai.
            Ayah juga mengajarkanku membaca puisi yang benar.
            “Membaca puisi itu sama halnya dengan menulis, Sayang.Kamu harus tenang, harus siap mental, harus bisa menguasai audiens, dan harus bisa menguasai puisi yang kamu bawakan.”
            “Iya Ayah.Tyas mengerti.”
            “Sebelum membaca puisi, tatap semua audiens, agar audiens merasa dihargai dan mereka juga menghargai kamu.”
            Selalu kuterapkan ilmu yang ayah berikan itu. Ayah benar, beberapa kali aku mendapat penghargaan dalam bidang ini. Ada bayangan ayah setiap kali aku memulai untuk membaca dan menulis, tak lain dan tak bukan karena ayah-lah yang mengajariku cara-cara menulis dan membaca puisi. Ayah yang membuat bakatku mampu kutampilkan tanpa rasa canggung didepan umum.Membuat aku menjadi pemberani dalam menunjukkan kreatifitasku.Ayah.
 

            Delapan tahun lalu…
            “Naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali
            Naik-naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali
            Kiri kanan ku lihat saja banyak pohon cemara”
            Lagu yang hampir setiap pagi ayah nyanyikan bersamaku ketika berkeliling komplek perumahan.Ya. Ayah selalu menyempatkan waktunya ditengah kesibukannya untuk menemaniku meski hanya sekedar berjalan-jalan. Ayah menggandeng tanganku. Ayah juga mengajakku untuk menghitung setiap langkah agar aku lancar menghitung.
            Satu alasan yang membuatku memiliki hobi menyanyi saat ini.Ayah.lagi-lagi ayah yang mengajariku. Banyak sekali yang ayah ajarkan, sehingga aku memiliki banyak prestasi disetiap bidangnya.
            Saat aku masuk Sekolah Dasar, setiap hari selepas pulang kerja, ayah selalu menanyakan padaku.
            “Bagaimana disekolah, sayang?”
            “Baik, Yah. Enggak ada kesulitan.” Begitu jawabku.
            Ayah juga sering mengontrol buku-buku pelajaranku, dan mengontrol nilai-nilaiku. Kalau ayah tahu aku mendapat nilai yang kurang baik, maka ayah akan memintaku untuk belajar dikamar dan akan memberikan soal-soal latihan setelah aku selesai belajar. Itulah ayah.yang selalu berusaha membuatku menjadi yang terbaik.
         
Setahun lalu…
          “Tentukan pilihanmu, Nak.Kamu mau sekolah dimana nanti?”Ayah, menanyakan bagaimana keputusanku saat sedang duduk berdua diruang tamu.
            “Tyas masih bingung, Yah. Belum tahu pilihannya.” Aku menjawab dengan nada tak ada kepastian.
            “Ya, kelulusan SMP kan sudah sebentar lagi.Kamu harus cepet-cepet buat keputusan, biar enggak keburu nantinya.”
            “Iya Ayah.Nanti juga Tyas sholat istikharah biar dapet mana yang terbaik.”
            “Begini, kalau nanti pilihanmu di Jawa, belajarmu harus lebih rajin.20 kali lipat dari sekarang, karena Jawa dan Madura itu berbeda.Lingkungannya pun berbeda. Kalau nanti pilihanmu di Jakarta, belajarmu harus 30 kali lipat dari biasanya, karena Jakarta, Jawa dan Madura itu sangat berbeda. Banyak saingan dan kamu harus tetap bisa menunjukkan yang terbaik.”Nasihat Ayah.
            Ayah.Seseorang yang selalu mendukung pilihan-pilihanku.Ayah.Seseorang yang selalu memberi kritik terbaik dan mudah kupahami untuk dapat dengan cepat aku mengintropeksi diri. Sangat berat memang melepaskan kebiasaanku di Madura untuk memilih pergi ke kota, meski alasannya adalah melanjutkan sekolah. Tak banyak yang pergi jauh dari orangtuanya untuk mencari ilmu, apalagi di usia yang baru 15 tahun ini. Biasanya, banyak kakak kelas yang kukenal mulai meninggalkan rumah untuk mencari ilmu saat mereka sudah kuliah, sedangkan aku, saat masuk SMA.
            Tak lama setelah perbincangan dengan ayah itu, aku mendapat petunjuk dari Allah karena shalat istikharah yang telah kulakukan 2x. aku bermimpi bermain bersama kakak sepupuku di Jakarta, apakah itu artinya Allah menuntunku untuk ke Jakarta. Agar tak salah mengartikannya, aku menanyakannya pada guru agama-ku, Pak Jami’an.
            “Assalamualaikum Bapak, saya mau bertanya.”
            “Waalaikumsalam. Iya Tyas, mau Tanya apa?”
            “Kemarin, saya sudah melakukan shalat istikharah dua kali, Pak. Seperti yang bapak ajarkan. Semalam, saya bermimpi bermain bersama kakak sepupu saya di Jakarta, pak. Apakah maksud dari mimpi itu ya, pak?” tanyaku.
            “Ya menurut bapak, jawabannya di Jakarta.Kalau kamu masih ragu, kamu bisa shalat lagi untuk memantapkan pilihan kamu itu. Jangan sampai kamu ragu, karena ini untuk masa depan kamu.”
            “Baik pak.Terimakasih.”
            Jakarta. Apakah ini jawabannya?Aku memantapkan hati.Ini bukan hanya pilihanku, tetapi ini juga pilihan Allah.Pasti Allah menyiapkan sesuatu yang baik untukku nanti disana.Sampainya dirumah, aku menceritakan hal ini pada Ayah.
            “Wah, kalau kamu sudah yakin. Kalau kamu sudah pas dengan pilihan kamu, sekarang juga ayah akan hubungi Pakpuh ya. Biar nanti Pakpuh cepat-cepat ngurus, biar nanti ngga keburu. Karena semuanya akan berantakan kalau keburu. Kan urusannya pakpuh bukan cuman kamu aja, tetapi ada urusan pekerjaan.”
            Aku mengangguk cepat.
            “Iya Ayah.”
            Sejak aku mengatakan pilihanku, aku lebih sering melamun. Entah apa yang kulamunkan. Padahal aku sangat senang dengan apa yang kupilih. Mungkin aku hanya belum terbiasa dengan apa yang akan aku hadapi nanti. Tanpa sosok keluarga yang menemaniku, meski mereka selalu ada dalam hatiku.
            Hari itu tiba.Dimana aku harus pergi ke Jakarta.Ayah, Ibu dan kedua adik laki-lakiku mengantarkanku.Tinggal dua adik perempuanku yang dirumah.
            “Mbak berangkat ya, Sayang? Assalamualaikum.” Aku berpamitan pada keduanya, mencium kening mereka.Kulihat airmata dikedua pipinya.Allah.Dosa ya aku membuat adik-adik tercintaku menangis sesenggukan seperti itu? Akankah aku melihat tangis lagi dipipi adik laki-lakiku serta Ayah dan Ibu? Jangan.Ini bukan perpisahan.
           
 

            Ayah dan Ibu mengantarku ke Jakarta hanya beberapa hari. 4 hari tepatnya.Melepasnya saja aku tak kuasa menahan tangis.Aku yang terbiasa dengan mereka tiba-tiba harus membiasakan diri dengan hal baru, tanpa ayah dan ibu.
            Aku sering mengingat moment-moment kecil bersama keluargaku.Terutama ayah.Aku ingat dulu saat aku masih di Madura.Banyak moment terindah yang kuhabiskan berdua dengan ayah.Aku sangat dekat dengan ayah, maklum lah, ibu lebih dekat dengan adik-adikku.Karena adik-adikku juga masih kecil-kecil.
            Aku sangat ingat waktu aku duduk dibangku sekolah dasar kelas satu. Ayah memberiku uang saku yang lebih sedikit dari teman-teman. Ketika aku memprotes dengan membandingkannya dengan temna-teman yang lain, ayah menjawabnya santai.
            “Jangan banyak jajan.Uangnya kan ditabung, biar nanti lama-lama menjadi bukit.”
            Aku juga ingat, saat aku kelas 8 SMP. Teman-temanku mulai menggunakan sepeda motor matic dan helm yang bagus, sedangkan aku menggunakan sepeda motor kantor milik Negara yang dipinjamkan kepada ayah dan helm seadanya. Sering mendapat ledekan dari teman-teman, tetapi aku tak patah hati.
            “Masih jaman Yas naik sepeda motor kantor? Ngga malu?” dan aku hanya bisa diam dan tersenyum.
            “Ayah, tadi temen-temen ngeledek gara-gara Tyas naik sepeda motor punya ayah.mereka ngeledek. Mentang-mentang mereka punya sepeda motor bagus, punya helm bagus. Tapi Tyas engga punya.” Aku mulai ngambek.
            “Tyas, kamu sekarang masih sekolah. Buat apa bergaya tapi pakai uang orangtua? Apa itu tidak lebih malu, Nak? Lebih baik bergaya pakai uang sendiri nanti kalau sudah kerja.Pasti lebih membanggakan. Nggak pantes dong kalau sekarang bergaya pakai kepunyaan orangtua terus dibanggakan.” Aku mulai mengerti maksud ayah.aku juga tidak pernah lagi memprotes ayah. karena ayah mengajarkanku arti kesederhanaan.
Ayah, yang pertama kali mengajariku membaca puisi sehingga aku meraih banyak prestasi dibidang ini.Ayah, yang mengajariku menjadi pemberani sehingga aku berani tampil didepan umum menunjukkan bakat-bakatku.Ayah, yang mengajariku menulis sehingga aku bisa menuliskan banyak cerita tentang kehebatannya.Ayah, yang mengajariku bernyanyi sehingga aku bisa mencairkan suasana hatiku lewat lagu.Ayah, yang mengajarkan banyak ilmu-nya untukku, yang tak pernah bisa aku lupakan.
“Tyas sayang ayah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar