Rabu, 08 Juli 2015

Fatamorgana

FATAMORGANA
Pura-pura. Banyak sekali kepura-puraan yang tercipta tanpa sebab yang pasti. Melipat jarak untuk ucap kata yang di maksimalkan atau di minimalkan. Aku meradang. Entah tetap berdiri di satu titik atau bergeser meski satu atau dua milimeter ke arah kanan atau kiri. Satu koma atau beberapa tanda tanya tak mungkin menemukan tanda seru yang diperbanyak.
“Lepas saja semuanya. Katakan yang tak semestinya, lalu kau boleh pergi.”
Ini lagi, satu lagi. Selalu saja angka yang menjadi pertanggungjawaban tanpa mengaca diri. Aku berkaca, aku mencoba berkaca, aku semakin mencoba berkaca. Akh! Tanda apalagi yang harus menjadi penghalang atau melanjutkan cerita-cerita palsu yang diperparah.
Aku atau siapapun tak akan ada yang mengerti bahwa dimana aku menempatkan cerita dan seberapa banyak kemampuan alam. Aku saja tak tahu, aku saja tak mengerti, aku saja tak paham. Bagaimana kau mencoba untuk memahami—hal yang kurasa tak perlu?
“Palsu, yaa?” hahahaha tertawa saja tak cukup. DENGAR!!!! Tertawa saja tak cukup.
Coba kemari. Merapat. Kau dengar. Apapun yang kau pasrahkan, kau telaah tanpa sebab yang pasti. Kau tak akan mengerti, kau tak akan mengerti. Kenangkan, aku tak mungkin. Aku tak mungkin untuk mengenangkan.
Pura-pura yang tersisa, pura-pura yang tak terucap.